Kamis, 24 November 2011

Pahala tetap akan sampai kepada Mayyit

1.Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan

Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada
ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa – apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash – nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.


Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist - hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat,dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif,dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang – orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, merekamenggunting – gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka:

Lalu berkata pula Imam Nawawi

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit
dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para
ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran
hutang (untuk mayyit) dengan nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah
pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah, demikianpendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat paraulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90).

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari
Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalukatakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.


Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai AbuAbdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),

maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku 
dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan 
bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakan pada 
orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an dikuburan agar ia terus membacanya 
lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225) 

Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :

“dijelaskan pada syarah Al Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala
amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah
disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok
besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya
sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan
Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa
tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal
yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (takada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini denganhadits yang sangat banyak”.(Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil ImamNawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman
amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah
untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maaqaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa – apa
yang kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang
mengatakannya tak sampai.

Kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya
mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari. Bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii,
maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.

Demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tidak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh buku – buku, namun acuan utama adalah pada guru yang mempunyai sanad.Kasihan mereka mereka yang keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama mereka sebatas buku – buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku – buku.

Jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi
bertawassul pada Nabi saw, Imam Nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada Nabi Muhammad saw, ia memperbolehkan tabarruk dan
ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.

Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar - besar kejahatan muslimin pada muslimin
lainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena pertanyaannya” (Shahih Muslim hadits No.2358, dan juga teriwayatkan pada Shahih Bukhari).

14 komentar:

subkhanallah ,, ana slama ni galau tentang di larang nya malakukan amalan sprti doa untuk mayit,, tahlil untuk mayit,, dg adanya penjelasan di atas ,, ana lega rasanya ,, smwa ke galauan ,, sirna sudah ,,, dg dukungan hadist yng kuat ,,, ana smakin ykin :) .. trimaksh....

Memang banyak orang sekarang ini yang melarang orang2 untuk ziaroh kubur tapi saya berterima kasih tulisan ini benar2 membantu kita untuk memahami pa yang ada sebenarnya tentang ziaroh kubur ini

Assalamualaikum, saya yg awam, sebenarnya masih bingung kok bersodaqoh atas nama orang yang meninggal diartikan "mengirimi amalan" atau "mengirim pahala". Bersodaqoh, berqurban dan haji memang bisa diatasnamakan orang yg sudah meninggal menurut Rosul Allah s.a.w. Tapi dari pemahaman saya, mengatasnamakan beda maksud dan artinya dengan mengirimi. Karena mengirim berarti sudah ada sesuatu yg akan dikirim. Sesuatu di sini, yg jelas ada hanya amalannya saja, sedangkan pahalanya hanya Allah yang tahu. Pantaskah kita mendahului Allah dengan mengirim pahala? Lalu Allah hanya untuk perantara? Astaghfirullah aladziim. Kalau tuntunan dari Rosul Allah hanya disebut "diatasnamakan" ya sebutlah demikian saja jangan diubah dengan kata mengirimi. Sebenarnya tradisi mengirimi sesuatu kepada arwah hanya tradisi Hindu. Para Wali hanya menggunakan ini sebagai sarana da'wah untuk transisi dari Hindu ke Islam, jadi mereka tidak ada maksud untuk mengubah syari'at, tapi sebagian umat Islam malah menggunakan sarana dakwah ini seperti syariát yang wajib dilaksanakan, bahkan ada yang membela mati-matian sampai menjelek-jelekkan saudara muslim sendiri dengan fitnah keji.
Cobalah kita berpikir jernih demi persatuan dan ukuwah Islam, malulah kita pada orang non muslim yg rukun rukun.

coba antum buka AL-QUR'AN
53.An-Najm : 39

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,

53.An-Najm : 40

وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ

dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)

simak juga hadist populer dibawah ini:

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayub dan Qutaibah (yakni Ibnu Sa’id) dan Ibnu Hajar, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Isma’il (dan dia adalah Ibnu Ja’far) dari al-’Ala’i dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda : إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)

dan pahami juga isi AL-QUR'AN dibawah ini:

63.An-Munaafiquun : 10

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"


Hanya Allah yang Maha Tahu

Imam Syaukani penganut Syiah Zaidiyah yang pandangan pandangannya banyak diadopsi oleh golongan Wahabi maupun di majelis tarjih Muhammadiyah dan kitab beliau Nail al-Authar yang banyak jadi rujukan, bahkan al-Albani dan Ibnu Baz sangat mengagumi beliau mengatakan dalam fatwanya :

السؤال الخامس: حاصله الاستفهام عن الأعراف الجارية في بعض البلدان من الاجتماع في المساجد لتلاوة القرآن على الأموات، وكذلك في البيوت، وسائر الاجتماعات التي لم ترد في الشريعة، هل يجوز ذلك أم لا؟.

“Soal Kelima: Kesimpulan soal, pertanyaan tentang tradisi-tradisi yang berlangsung di sebagian negeri berupa perkumpulan di Masjid-masjid untuk membaca al-Qur’an bagi orang-orang yang sudah meninggal. Demikian pula perkumpulan di rumah-rumah, dan perkumpulan-perkumpulan lain yang tidak datang dalam syari’at. Apakah hal tersebut boleh atau tidak?

أقول: لا شك أن هذه الاجتماعات المبتدعة إن كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة، لأن الاجتماع ليس بمحرم في نفسه ، لا سيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها. ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت، فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث: ” اقرأوا على موتاكم يس ” وهو حديث حسن ، فلا فرق بين تلاوة يس من الجماعة الحاضرين عند الميت أو على قبره، وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميت في مسجده أو بيته.

"Aku berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa perkumpulan-perkumpulan yang diada-adakan ini, apabila bersih dari kemaksiatan, selamat dari kemungkaran, maka hukumnya boleh. Karena perkumpulan itu tidak diharamkan sebab perkumpulannya itu. Lebih-lebih apabila perkumpulan tersebut untuk melaksanakan ibadah seperti membaca al-Qur’an dan sesamanya (dzikir dan Tahlilan). Perkumpulan tersebut juga tidak dapat dicela karena bacaan al-Qur’an nya dihadiahkan bagi orang yang sudah meninggal. Karena jenis bacaan al-Qur’an dari jamaah yang berkumpul benar-benar telah datang seperti dalam hadits, “Bacakanlah surah Yasin bagi orang-orang meninggal kalian.” Hadits ini adalah hadits hasan. Jadi tidak ada bedanya antara membaca surat Yasin, dari jamaah yang hadir di sisi si mati, atau di atas makamnya, dan antara membaca seluruh al-Qur’an atau sebagian bagi si mati, di Masjid nya atau di rumahnya."

وبالجملة فالاجتماعات العرفية التي لم يرد جنسها في الشريعة إن كانت لا تخلو عن منكر فلا يجوز حضورها، ولا يحل تطييب نفس الجار بحضور مواقف المنكرات والمعاصي وإن كانت خالية عن ذلك، وليس فيها إلا مجرد التحدث بما هو مباح، فهذا لا نسلم أنه لم يرد جنسه في الشريعة المطهرة، فقد كان الصحابة الراشدون يجتمعون في بيوتهم ومساجدهم، وعند نبيهم – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ويتناشدون الأشعار، ويتذاكرون الأخبار، ويأكلون ويشربون، فمن زعم أن الاجتماع الخالي عن الحرام بدعة فقد أخطأ، فإن البدعة هي التي تبتدع في الدين، وليس هذا من ذاك.

"Kesimpulannya, perkumpulan-perkumpulan tradisional yang jenisnya tidak datang di dalam syariat, apabila tidak bersih dari kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya. Tidak boleh menyenangkan hati tetangga dengan menghadiri tempat-tempat kemungkaran dan kemaksiatan. Apabila perkumpulan tersebut bersih dari hal itu, dan isinya hanya sekedar membicarakan hal-hal yang dibolehkan, maka hal ini kami tidak menerima jika dikatakan bahwa jenis perkumpulan tersebut tidak terdapat di dalam syariat yang suci. Karena para sahabat yang memperoleh petunjuk selalu mengadakan perkumpulan di rumah-rumah dan masjid-masjid mereka, dan di sisi Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka saling menembangkan syair (persis maulidan), saling mengingatkan berita-berita, mereka makan dan minum di situ. Siapa yang berasumsi bahwa perkumpulan yang bersih dari haram itu bid’ah, maka ia telah benar-benar keliru. Karena bid’ah itu sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Sedangkan perkumpulan (Yasinan, Hataman, Tahlilan dan semacamnya) ini bukan termasuk bid’ah tersebut.” (Al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, juz 9 halaman 4502)

Kalo benar2 sampai betapa beruntungnya ahli kita yg sudah tiada...kalo gak sampae ya dak apa2 tdk ada ruginya...yg rugi kalo sampe trs kita gak pernah korim apapun ke ahli kita..betapa kasihan mereka...

Betul...anak dan keturunan kan sebagian yg di usahakan kita..jadi tetap nyambung juaga kita...

Berarti kalo kita sebagai anak berdoa dg cara menshodaqohkan harta dg pahalanya di tujukan buat ahli kita kan sampe juga..kan doa itu namnaya

Ini baru top..setuju sekali gus...

Ini baru top..setuju sekali gus...

Betul...anak dan keturunan kan sebagian yg di usahakan kita..jadi tetap nyambung juaga kita...

Abdullah bin Al-Mubarok (Ulama Salaf) Berkata :
"Tidak Ada Perbedaan Pendapat Tentang Sampainya Pahala Sedekah Kepada Mayyit".

(HR.Muslim)

Rasulullah Bersabda :
"Segala Kebaikan Adalah Sedekah".

(HR.Bukhori Muslim)

Jadi Apapun Amalan Ibadah, Maka Menurut Rasulullah Dianggap Sedekah.
Dan Tidak Ada Perselisihan Pendapat Mengenai Sampainya Pahala Sedekah Kepada Mayyit.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More