Rabu, 22 Juni 2011

Rasio dijadikan hakim dan dalil Syar’i.


       Sebab sesatnya ahli bid’ah adalah karena terlalu memanjakan akal. Segalanya diukur dengan akalnya, jika cocok maka diterima, tetapi jika tidak maka terpaksa harus dibuang. Sehingga banyak hadits-hadits Rasulullah SAW yang ditolak atau dilemahkan rawi-rawinya karena tidak sesuai dengan pertimbangan rasio mereka.
Imam as-Syathibi telah menelaah tentang methode yang ditempuh oleh para ahli bid’ah untuk merumuskan satu dalil. Diantaranya adalah; mereka menolak beberapa hadits yang tidak cocok dengan keinginan dan madzhab mereka. dalam penilaiannya, hadits tersebut tidak rasionalis dan bertentangan dengan dalil-dalil rasio (logika ahlil kalam/ mantiq). Maka sebab itu hadits tersebut tidak bisa diterima. Diantara yang melakukan hal ini adalah orang-orang yang mengingkari siksa kubur. Imam Syathibi kemudian menyebutkan berbagai hadits yang mereka tentang, dan katanya, “Dan beberapa hadits lainnya yang shahih yang telah dinukil oleh orang-orang yang adil”.
Dan mereka (ahli bid’ah) sering mencela para Sahabat, Tabi’in serta para aimmah yang telah dinyatakan “keadilan” dan ke-imama-annya oleh para ahlul hadits, dengan sifat-sifat tercela yang sangat tidak mungkin dilakukan mereka.40)
Jika kita meninjau biografi para tokoh Mu’tazilah, maka hal itu akan kita temukan dengan jelas dalam ucapan-ucapan mereka. Imam Khatib al-Baghdadi telah menceritakan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Amr Ibnu ‘Ubaid. Manakala hadits Rasulullah SAW disebutkan dihadapan- nya dia berkata, “jika aku mendengar dari A’masy mengatakan hal itu pasti aku dustakan. Jika aku mendengarnya dari Zaid bin Wahab pasti tidak aku jawab. Jika aku mendengar Abdullah bin Mas’ud mengatakan hal itu pasti tidak akan aku terima. Jika aku mendengar Rasulullah mengatakan hal itu pasti aku tolak. Dan jika aku mendengar Allah SWT mengatakan hal itu pasti aku katakan pada-Nya tidak demikian caranya engkau mengambil janji pada kami.”41)
Ibnu Quthaibah juga menyebutkan bahwa an-Nadhom juga melakukan hal itu, yakni mendustakan hadits Rasulullah SAW. Dan Ibnu Quthaibah telah menjawab dan menentangnya.42) Kemudian diakhir penolakannya Ibnu Quthaibah mengatakan, “an-Nadhom” telah memiliki banyak penta’wilan berbagai hadits yang menurutnya bertentangan dengan al-Qur’an, dan memiliki berberapa hadits Nabi yang dinilai cacat menurut dalil akal. Menurutnya, hujjah aqliy terkadang mampu menggugurkan (naskh) beberapa khabar dan hadits-hadits yang saling bertentangan.”43) Sementara, akal manusia sebenarnya bertingkat-tingkat dan berbeda. Antara akal manusia yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Sehingga terkadang yang dibenarkan oleh akal seseorang malah disalahkan oleh akal lainnya.
Dan begitu seterusnya, selamanya akal manusia tak akan pernah bersatu. Maka, hal yang bagaimanakah yang digunakan sebagai pemutus dan pertimbangan untuk menemukan hakikat-hakikat Syar’I? Lantas apa faedah wahyu diturunkan bila akal telah mampu mengetahui segala yang wajib dan mustahil pada Allah SWT? Wahyu dalam madzhab mereka hanyalah sebagai penganut akal saja. Sebab, nantinya ia akan dikoreksi oleh akal, sehingga bisa ditolak atau dita’wil jika bertentangan dengannya.
Disinilah letak utama perbedaan Ahlussunnah dengan ahlul bid’ah. Jika ahlul bid’ah menjadikan akal sebagai asas agamanya, maka Ahlussunnah dasar utamanya adalah ittiba’ pada dalil-dalil syar’I, dan akal hanya mengikuti dalil syar’i. Sebab, bila akal sebagai dasar agama, maka manusia sudah tidak membutuhkan lagi wahyu dan Nabi. Dan gugur atau batallah segala perintah dan larangan Allah, serta semua berita dari Allah dan Rasul-Nya akan diruntuhkan jika bertentangan dengan akal. Disamping itu, orang akan mengatakan segala sesuatu dengan sekehendaknya sendiri.
Seandainya agama memang berdasarkan rasio, tentunya seorang berhak untuk tidak menerima sesuatu yang mestinya diimani (karena mungkin sulit dirasionalkan). Dan hal itu pasti akan ‘menolak’ dan menggugurkan sebagian besar khabar dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebab jika kita telaah lebih jauh, sebagian besar darinya sulit ditemukan hakikatnya oleh akal. Seperti masalah adzab kubur, pertanyaan Munkar-Nakir, telaga Rasulullah SAW, mizan, shirath, sifat-sifat surga, sifat-sifat neraka, dan lain sebagainya, khusunya sifat-sifat Allah SWT dan ayat-ayat mutasyabihat yang semestinya harus diimani tanpa menta’wil dan meyakini tasybih dan ta’thil.44) Karena, jika ta’wil dibesar-besarkan, tentu perselisihan antara umat Islam akan semakin tajam dan cenderung saling mengkafirkan. Maka, yang paling aman adalah mengikuti methode Imam Ahmnad  bin Hambal dan para ulama ahli hadits. Yakni segala yang datang dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW haruslah diimani apa adanya (tanpa “mentasybihkan” maupun “menta’thilkan”). Seperti Allah SWT mempunyai “yadain” haruslah diimani demikian tanpa membayangkan tangan seperti makhluk (tasybih) atau meyakini tidak punya tangan (ta’thil) dan juga tidak menta’wil dengan kekuasaan maupun ni’mat. Sebab, menurut penjelasan Imam Asy’ari (yang dalam pengakuan beliau adalah mengikuti methode Imam Ahmad).45)
Ta’wil-ta’wil tersebut mengandung kelemahan. Contoh lagi adalah istiwa’-Nya Allah SWT. Ini tidak usah dita’wil menguasai arasy. Karena jika diartikan demikian, lalu apakah Allah tidak menguasai langit, bumi, rumput dan sebagainya? Dan apakah boleh dikatakan bahwa “Allah istawa ‘alal Husyusy (berkuasa atas wc-wc)?”.46)
Maka sebab itu, jika memang mengikuti Imam Asy’ari kita harus meyakini sebagaimana yang dikatakan Imam Asy’ari dalan “Ibanah”-nya, tahqiq Dr. Fauqiyyah, hal; 21.
" إن اللـه تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قالـه وبالمعنى الذي أراده، استواء منزها عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحملـه العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد".
Arti ringkasnya: “Bahwasanya Allah SWT telah menempati ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya dan dengan arti yang ia maksudkan, dengan penempatan yang suci dari persentuha, duduk secara mantap atau terjadinya perpindahan dan perubahan pada diri Allah SWT. Dan bahwa Ia diatas ‘Arsy-Nya dan diatas segala makhluq-Nya tanpa berarti Ia lebih dekat jaraknya dengan ‘Arsy, langit-langit-Nya atau jauh dari bumi, bahkan ia sangat luhur derajat-Nya diatas segala makhluq-Nya dan Maha Dekat dari hamba-hamba-Nya.”


40) . al-I’tishom: I/309.
41) . Tarikh Baghdad: XII/172.
42) . Ta’wil Mukhtalaf Hadits: 26-29.
43) . Ibid: 42-43.
44) . al-Hujjah fi Bayanil Mahjah: I/320.
45) . Muqoddimah dan akhir al-Ibanah Tarikh Baghdad: 153.
46) . al-Ibanah fi mas’alatil Istiwa’.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More