KH Maioen Zubair

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian..

AMALIYAH NU

Amalan-amalan orang-orang umum seperti pujian, walimatul hamli, ulang tahun semua ada keterangan dan dasarnya disini

SANTRI SARANG BLOGGER

BLOGGER SANTRI SARANG

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Aliran-aliran

Perpecahan pemeluk agama menimbulkan adanya....

Selasa, 23 Agustus 2011

MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA KYAI LANGGAR / GURU NGAJI

Zakat merupakan salah satu ibadah maliyah (ibadah yang berwujud harta) yang mana ketentuan, cara pengumpulan dan pendistribusiannya sudah diatur dalam syari’at dengan aturan yang baku. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 diterangkan :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. التوبة: 60
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (QS. At-Taubah 60).
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa pendistribusian zakat/pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerimanya) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut. Sedangkan golongan yang lain tidak berhak menerimanya. Demikian pula halnya dengan kyai langgar/guru ngaji. Sementara sudah merupakan hal yang biasa dilakukan di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin -yang notabenenya warga nahdliyin- memberikan zaktnya kepada kiyai langgar/guru ngaji, bagaimana hukumnya?
Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin memberikan keterangan :
وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا [أَيِ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ] أَيْضًا اشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِالْفِقْهِ، أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ، أَوِ الْحَدِيْثِ. أَوْ مَا كَانَ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ، وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
Artinya :
“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam ini dapat diberi  zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah.
Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.
Jam’iyah Musyawarah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada tahun 1405 H./1984 M. pernah membahas persoalan ini dengan deskripsi masalah sebagai berikut :
Soal : Apakah boleh memberikan zakat kepada kiyai dengan atas nama kiyai?
Jawab: Tidak boleh, karena tidak termasuk ashnaf delapan, meskipun nama sabilillah, sebab yang dimaksud sabilillah adalah orang yang berperang dengan sukarela. Keterangan dari kitab Fathul Wahhab juz II hal. 27 :
(وِلِسِبِيْلِ اللهِ) وِهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ.
Artinya :
“(dan untuk sabilillah) yaitu orang yang berperang dengan sukarela dalam jihadnya.
(Tanbih) Ada suatu qaul (pendapat ulama) yang menyebutkan bahwa kiyai itu termasuk sabilillah, sebagaimana keterangan dalam kitab Jawahirul Bukhari hal. 173 :
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ وَاْلإِرْشَادِ وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْفِ. اهـ تحفة الرحبة 2 ص 33
Artinya :
“Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah : para pelajar/santri yang mempelajari ilmu syar’i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan membela agama yang lurus”.
Jadi, kalau kita mengikuti qaul/pendapat ulama yang tertulis dalam kitab Jawahirul Bukhari tadi (yakni pendapat Imam Qasthalani Asy-Syafi’i), maka boleh dan sah memberikan zakat kepada para kiyai/para guru ngaji -sebagaimana yang biasa dilakukan di kampung-kampung- dengan atas nama sabilillah.

MEMBACA YASIN FADHILAH

Mayoritas umat muslim di Indonesia adalah penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mempercayai keutamaan/Fadhilah membaca surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an, misalnya yang berupa surat secara utuh-utuh surat al-Baqoroh, surat al-Kahfi, surat Yasin, surat ad-Dukhon, surat al-Waqi’ah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain dan lain-lain. Sedangkan yang berupa ayat al-Qur’an misalnya: Ayat Kursi, ayat-ayat yang ada di akhir surat al-Baqoroh atau yang ada di akhir surat al-Kahfi dan lain-lain.
Surat-surat atau ayat-ayat tersebut mereka baca secara rutin setiap  hari/ setiap malam atau secara berkala. Keterangan tentang keutamaan membaca beberapa surat/ ayat tersebut bisa diperoleh dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para muhadditsin antara lain:
1.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُوِّجَ بِتَاجٍ فِى الْجَنَّةِ. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh, maka akan diberi mahkota beruap mahkota di surga.” (HR. Baihaqi)
2.  Hadits riwayat al-Hakim:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ. رواه الحاكم
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh pada hari jum’at, maka akan bersinar baginya seberkas cahaya sampai dua jum’at”. (HR. Al-Hakim)
3.  Hadits riwayat Abu Nu’aim:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ  أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ. رواه أبو نعيم في الحلية
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada waktu malam, maka pada pagi harinya orang itu diampuni dosanya”. (HR. Abu Nu’aim)
4.  Hadits riwayat Ath-Thabrani:
مَنْ قَرَأَ "حم" الدُّخَانَ فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ أَوْ يَوْمَ جُمُعَةٍ بنى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. رواه الطبراني
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Hamim ad-Dukhon pada malam jum’at atau hari jum’at, maka Allah akan mendirikan bangunan rumah untuk orang itu di surga”. (HR. Ath-Thabrani).
5.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَداً. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan tetimpa kemiskinan selamanya”. (HR. Baihaqi)
6.  Dan lain-lain.
Di sebagian daerah yang masyarakatnya mayoritas warga NU. Berlaku suatu amalan membaca surat Yasin namun bukan surat Yasin biasa, akan tetapi Yasin Fadhilah (yakni surat Yasin yang di dalamnya disisipi kalimat-kalimat yang berisi do’a atu bacaan tertentu selain al-Qur’an).
Ada tiga maslaah yang dipertanyakan sehubungan dengan amalan tersebut?
Pertama: Bagaimana hukum mencampur penulisan ayat al-Qur’an dengan kalimat-kalimat lain yang bukan al-Qur’an?
Kedua: Bagaimana pula hukum membacanya?
Ketiga: Apakah surat-surat lain yang bukan surat Yasin juga boleh dijadikan sebagaimana Yasin Fadhilah?
Mengenai masalah ini, ada perbedaan humum antara menulis do’a-do’a tertentu di sela-sela ayat atau surat al-Qur’an dan hukum membacanya. Perbedaan itu sebagai berikut :
Hukum menulisnya adalah makruh, karena hal itu akan menimbulkan dugaan bahwa do’a-do’a atau bacaan-bacaan tersebut termasuk ayat/surat Al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam kitab “al-itqan” juz III hal. 171 :
وَقَالَ الْحَلِيْمِيْ: تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآيَاتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ: جَرِّدُوا الْقُرْآنَ. وَأَمَّا النُّقَطُ فَيَجُوْزُ لَهُ لأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ لأَجْلِهَا مَا لَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآناً. وَإِنَّمَا هِيَ دَلاَلاَتٌ عَلَى هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَضُرُّ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا. وَقَالَ الْبَيْهَقِيْ: مِنْ آدَابِ الْقُرْآنِ أَنْ يُفْخَمَ فَيُكْتَبُ مُفَرَّجاً بِأَحْسَنِ خَطٍّ، فَلاَ يُصَغَّرُ وِلاَ يُقَرْمَطُ حُرُوْفُهُ، وَلاَ يُخْلَطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ كَعَدَدِ اْلآيَاتِ وَالسَّجَدَاتِ وَالْعَشَرَاتِ وَالْوُقُوْفِ وَاخْتِلاَفِ الْقِرَاءَاتِ وَمَعَانِي اْلآيَاتِ.
Artinya :
“Imam Halimi berkata : makruh hukumnya menulis tanda sepersepuluh, seperlima, nama surat dan bilangan ayat di tengah-tengah surat/ayat Al-Qur’an. Karena sabdanya : bersihkanlah tulisan Al-Qur’an (dari hal yang bukan Al-Qur’an). Adapun memberi titik maka hukmnya boleh, karena tidak merubah bentuk yang sekiranya menimbukan dugaaan bahwa yang bukan Al-Qur’an dianggap Al-Qur’an. Hal itu hanyalah petunjuk atas keberadaan huruf yang dibaca. Imam Baihaqi berkata : Di antara tata krama terhadap Al-Qur’an adalah hendaklah bersikap serius kepada Al-Qur’an, hendaklah menulisnya dengan hitam putih, tulisannya harus yang indah, jangan dibuat terlalu kecil hurufnya, jangan terlalu rapat baris-barisnya jangan mencampurnya degnan tulisan-tulisan yang bukan termasuk Al-Qur’an, seperti bilangan ayat, tanda ayat sajdah, tanda sepersepuluh, tanda waqaf, perbedaan bacaan dan makna kandungan ayat”.
Adapun membaca do’a atau kalimat lainnya di tengah-tengah surat yasin atau surat yang lain, hukumnya sunnat apbila do’a atau kalimat-kalimat tersebut relevan (ada keterkaitan) dengan tuntutan makna ayat/surat yang dibaca itu. Tersebut dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz I hal. 279 :
وَفِيْ أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ.
Artinya :
“Di tengah-tengah membaca Al-Qur’an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan Allah, dia bertasbih dan bertabir, ketika melewati ayat yang berisi permohonan dan minta ampunan, dia berdo’a dan beristighfar, ketika melewati ayat yang berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya”.
Berdo’a di tengah bacaan Al-Qur’an juga pernah dilakukan oleh Nabi SAW. sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam Nasa’ai :
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِى رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. وَفِى سُجُودِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى.
Artinya :
“Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah ra. bahwa dia melakukan shalat malam di samping Rasulullah SAW. beliau membaca surat ketika sampai pada ayat yang menerangkan adzab, beliau berhenti dan meminta perlindungan dan ketika sampai pada ayat yang menerangkan rahmat beliau berhenti dan berdo’a meminta rahmat, ketika ruku’ beliau membaca Subhana Rabbiyal Adzimi, dan ketika sujud beliau membaca Subhana Rabbiyal A’la”. (HR. Nasa’i)

MEMPERINGATI ULANG TAHUN KELAHIRAN

Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :
a.  Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.
b.  Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
c.   Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
d.  Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
e.  Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane bayi.
f.   Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.
Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang anaknya. Mereka menyebutnya “bancaan tiron”. Sebagian warga kita ada yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah ini adalah :
a.  Apakah ada dasar berupa dalil dari syara’ mengenai acara peringatan hari ulang tahun kelahiran?
b.  Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan acara ulang tahun itu?
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam selamatan itu ada unsur-unsur kebaikan, di antaranya: menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara’ mengenai peringatan ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Ka’ab bin Malik menerima kabar gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahni’ah).
Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.
Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I hal. 162 :
قَالَ الْقَمُوْلِيْ: لَمْ أَرَ لأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلاَمًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيْدِ وَاْلأَعْوَامِ وَاْلأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنِ الْحَافِظِ الْمُقَدَّسِيِّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مُخْتَلِفِيْنَ فِيْهِ وَالَّذِيْ أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاَ سُنَّةٌ فِيْهِ وَلاَ بِدْعَةٌ وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلاَعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوْعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَّدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ: بَابُ مَا رُوِيَ فِيْ قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيْدِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ، وَسَاقَ مَا ذُكِرَ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيْفَةٍ لَكِنْ مَجْمُوْعُهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِيْ مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُوْمِ التَّهْنِئَةِ بِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوْعِيَّةِ سُجُوْدِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِيْ قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرُ بِقَبُوْلِ تَوْبَتِهِ وَمَضَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَهَنَّأَهُ.
Artinya :
“Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ahbisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.

WALIMATUL HAMLI

Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih dilestarikan suatu tradisi apabila si perempuan hamil maka keluarganya mengadakan selamatan/walimahan, mereka menyebutnya “tingkepan”, sementara para santri menyebutnya “walimatul hamli”.
Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dienti-enti wis mathuk jangkep (yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna). Waktu pelaksanaan selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan daerah lain tidak sama. Di sebagian daerah dilaksanakan pada saat usia janin ± empat bulan, sedangkan di daerah lain dilaksanakan pada saat usia janin tujuh bulan. Dalam upacara tingkepan yang mereka anggap sakral itu dihidangkan beberapa jenis menu makanan khas, di samping itu disajikan juga secama sesajen yang beraneka ragam.
Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu amalan sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama salaf atau tidak? Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya pro dan kontra antara kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim yang lain. Sebagian dari kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori, tidak mau malakukan bahkan ada yang bersikap ekstrim menolak dan berusaha untuk memberantasnya. Mereka berargumentasi bahwa tradisi tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu peninggalan Budha klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh umat muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ فِيْ الْحَرَامِ، وَمُبْتَغٍ فِيْ اْلإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبٍ دَمَ امْرِئٍ ليهريق دَمَهُ. رواه البخاري عن ابن عباس. اهـ الجامع الصغير ص 5
Artinya :
“Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :
1.  Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;
2.  Orang yang sudah memeluk Islam, akan tetapi masih mengamalkan tradisi kaum jahiliyah;
3.  Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu dialirkan darahnya (yakni menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang benar)”.
Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi budaya tingkepan ini dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori mau melakukan bahkan melestarikannya, namun tidak serta-merta menerimanya secara total, akan tetapi bertindak selektif, yang dilihat bukan tradisi atau budayanya tetapi nilai-nilai yang dikandungnya.
Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan -biasanya dilakukan oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada lagi sajian lain. Jika hal itu tidak dipenuhi -menurut kepercayaan mereka- akan timbul dampak negatif bagi ibu yang sedang hamil atau janin yang dikandungnya. Hidangan atau sajian dimaksud antara lain :
1.  Nasi tumpeng;
2.  Panggang ayam;
3.  Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4.  Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5.  Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6.  Nasi liwet yang masih dalam periok;
7.  Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8.  Pasung yang dibungkus daun nangka;
9.  Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10.   Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11.   Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12.   Sapu lidi;
13.   Pecah kendi di halaman rumah;
14.   Dan lain-lain.
Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu, maka wajarlah kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen menolaknya.
Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi dengan sikap selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara selamatan tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang berseberangan dengan syari’at (hal yang haram) dan tidak pula merusak akidah (berbau syirik).
Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :
1.  Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan di tempat atau yang berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan tetapi berniatlah menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan semoga dengan wasilah shadaqah ini, Allah SWT. memberikan keselamatan kepada segenap anggota keluarga, khususnya janin yang berada dalam kandungan serta sang suami dan isteri yang sedang mengandung (selameto ingkang dipun kandut, selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang ngandutaken).
Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya shadaqah dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas dan bahan-bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat menganjurkannya dan beliau jelaskan pula fadlilahnya, sebagaimana sabda beliau :
a.  Hadits riwayat Imam Rafi’i :
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ، وَزَكَاةُ الدَّارِ بَيْتُ الضِّيَافَةِ. رواه الرافعي عن ثابت  (الجامع الصغير ص: 264)
Artinya :
“Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat tinggal adalah menjamu para tamu”. (HR. Imam Rafi’i).
b.  Hadits riwayat Imam Thabarani :
الصَّدَقَةُ تَسُدُّ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنَ السُّوْءِ. رواه الطبراني
Artinya :
“Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan”. (HR. Imam Thabarani).
c.   Hadits riwayat imam Khatib :
الصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنَ الْبَلاَءِ. رواه الخطيب
Artinya :
“Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala’”. (HR. Imam Khatib)
2.  Walimatul hamli/selamatan tingkepan adalah salah satu wujud tahadduts bin ni’mah yakni memperlihatkan rasa syukur atas kenikmatan/ kegembiraan yang dianugerahkan oleh Allah SWT. berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang selama ini menjadi dambaan pasangan suami dan isteri.
Ulama’ salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan disunatkan mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga dan teman-teman sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman Al-Juzairi dalam kitabnya “al-fiqhu alal madzahibil arba’ah” juz II hal. 33 :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا: يُسَنُّ صُنْعُ الطَّعَامِ وَالدَّعْوَةُ إِلَيْهِ عِنْدَ كُلِّ حَادِثِ سُرُوْرٍ، سَوَاءٌ كَانَ لِلْعُرْسِ أَوْ لِلْخِتَانِ أَوْ لِلْقُدُوْمِ مِنَ السَّفَرِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا ذُكِرَ. اهـ
Artinya :
“Ulama Syafi’iyyah (pengikut madzhab Syafi’i) berpendapat : disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makan-makan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan, baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain sebagainya”.
Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah barang tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan mempunyai sikap arif dan bijak dalam memilih dan memilah di antara beberapa hidangan dan sajian tersebut, mana yang bisa diselaraskan dengan syari’at dan mana yang tidak, mana yang masih dalam koridor akidah islamiyah dan mana yang tidak.

SHALAT TAHAJJUD SETELAH WITIR

Bulan Ramadlan adalah bulan ibadah, siang dan malam selama sebulan, bermacam-macam cabang ibadah yang dilakukan oleh umat muslim. Pada malam hari hampir seluruh kaum muslimin mengikuti jamaah shalat Isya’ dilanjutkan dengan shalat Tarawih dan Witir juga berjamaah. Kemudian pada waktu sahur sebagian dari mereka ada yang melakukan shalat Tahajjud.
Kita semua tahu bahwa shalat Tahajjud adalah shalat malam yang dilakukan setelah tidur, sementara ada hadits nabi yang menerangkan bahwa shalat witir itu pelaksanaannya di penghujung shalat malam. Sabda Nabi SAW. :
اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ  بِاللَّيْلِ وِتْرًا. رواه البيهقي وأبو داود (الجامع الصغير ص: 10)
Artinya :
“Lakukanlah shalat yang paling akhir di waktu malam berupa shalat witir”. HR. Baihaqi dan Abu Dawud.
Hadits ini difahami oleh sebagian orang bahwa setelah shalat witir pada saaat malam itu sudah tidak ada shalat sunat lagi.
Sehubungan dengan hal  tersebut, sering muncul pertanyaan : apabila kita sudah melaksanakan shalat witir setelah tarawih sebagaimana yang biasa bita lakukan setiap malam di bulan ramadlan kemudian kita tidur dan nanti menjelang pagi kita bangun, bolehkah kita melakukan shalat tahajjud? Jika hal itu boleh apakah kita masih disunatkan melakukan shalat witir lagi?
Mengenai masalah ini, para fuqaha’ memahami bahwa kata perintah اجعلوا dalam hadits Nabi di atas adalah perintah sunat, bukan perintah wajib. Maka pengertiannya : shalat witir itu sebaiknya dilakukan pada akhir shalat malam. Bagi mereka yang biasa melakukan shalat tahajjud, shalat witirnya diakhirkan setelah tahajjud. Andai kata mereka sesudah melakukan shalat witir kemudian tidur dan nanti bangun malam kemudian melakukan shalat tahajjud, yang demikian itu juga boleh, yang penting mareka tidak melakkukan shalat witir lagi. Ketentuan hukum seperti tersebut telah difatwakan oelh Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri juz I hal. 132 :
وَالْوَاحِدَةُ هِيَ أَقَلُّ الْوِتْرِ .... وَوَقْتُهُ بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوْعِ الْفَجْرِ .... وَيُسَنُّ جَعْلُهُ آخِرَ صَلاَةِ اللَّيْلِ، لِخَبَرِ الصَّحِيْحَيْنِ: اِجْعَلُوْا آخِرَ صَلاَتِكُمْ مِنَ اللَّيْلِ وِتْرًا. فَإِنْ كَانَ لَهُ تَهَجُّدٌ أَخَّرَ الْوِتْرَ إِلَى أَنْ يَتَهَجَّدَ، فَإِنْ أَوْتَرَ ثُمَّ تَهَجَّدَ لَمْ يُنْدَبْ لَهُ إِعَادَتُهُ، بَلْ لاَ يَصِحُّ، لَخَبَرِ : لاَ وِتْرَانِ فِيْ لَيْلَةٍ. اهـ
Artinya :
“Shalat witir itu minimal satu rakaat, waktunya antara waktu shalat Isya’ sampai terbit fajar. Disunatkan melaksanakan shalat witir pada akhir shalat malam. Dalilnya hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim : Lakukanlah shalatmu yang paling akhir di waktu malam itu berupa shalat witir. Apabila seseorang biasa bertahajjud, maka witirnya diakhirkan setelah tahajjud dan andai kata dia melakukan witir lebih dulu kemudian baru melakukan shalat tahajjud, maka dia tidak disunatkan mengulang shalat witir, bahkan tidak sah jika diulang. Dalilnya hadits nabi : tidak ada pelaksanaan shalat witir dua kali pada satu malam”.
Demikian fatwa syaikh Ibrahim Al-Bajuri. Tidak berbeda dengan fatwa tersebut syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abd. Rahman Ad-Dimasyqi As-Syafi’i dalam kitabnya “Rahmatul Ummah” hal. 55 juga menulis sebagai berikut :
وَإِذَا أَوْتَرَ ثُمَّ تَهَجَّدَ لَمْ يُعِدْهُ عَلَى اْلأَصَحِّ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَمَذْهَبِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ.
Artinya :
“Apabila seseorang sudah melakukan shalat witir kemudian dia bertahajjud, maka witirnya tidak usah diulang. Demikian menurut pendapat yang paliang shahih dalam madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Abi Hanifah”.

MUSHOFAHAH / BERJABAT TANGAN DENGAN PESERTA JAMAAH SETELAH SALAM

Ada lagi satu amaliyah yang menjadi adat istiadat di kalangan warga kita yaitu mushafahah (berjabat tangan) dengan peserta jamaah seusai shalat yakni sesudah salam. Mushafahah termasuk salah satu prilaku yang baik dan sunah dilakukan setiap kita bertemu dengan sesama saudara muslim, yang laki-laki bermushafahah dengan sesama laki-laki dan yang perempuan bermushafahah dengan sesama perempuan.
Jadi walaupun tidak ada dalil yang khusus menerangkan tentang masalah mushafahah ba’das shalah, namun secara umum rasulullah saw menganjurkannya. Anjuran rasulullah saw ini bisa kita lihat dalam beberapa hadits, antara lain :
1.  Hadits Nabi riwayat Ibnu Ady :
تَصَافَحُوْا يَذْهَب الْغِلُّ عَنْ قُلُوْبِكُمْ. رواه ابن عدي عن ابن عمر
Artinya :
“Bermushafahahlah kamu, niscaya hilang perasaan dendam/hasud dari lubuk hatimu”. (HR. Ibnu Ady).
2.  Hadits nabi riwayat Ahmad dan Abu Dawud
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا. رواه أحمد وأبو داود.
Artinya :
“Tiada dua orang sesama muslim yang bertemu kemudian berjabatan tangan kecuali pasti mereka berdua diampuni kesalahannya sebelum berpisah. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Kemudian menanggapi masalah dianjurkan atau tidaknya mushafahah khusus setelah shalat, ini para ulama berbeda pendapat, sebagaimana yang ditulis oleh As-Sayyid Ba Alawi Al-Hadlrami dalam kitabnya Bughyatul Mustarsyidin hal. 50 :
(فَائِدَةٌ) الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلاَتَيِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ لاَ أَصْلَ لَهَا، وَذَكَرَ ابْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ أَنَّهَا مِنَ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ، وَاسْتَحْسَنَهُ النَّوَوِيُّ، وَيَنْبَغِيْ التَّفْصِيْلُ بَيْنَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَمُبَاحَةٌ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ فَمُسْتَحَبَّةٌ، إِذْ هِيَ سُنَّةٌ عِنْدَ اللِّقَاءِ إِجْمَاعاً. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّ الْمُصَلِّيَ كَالْغَائِبِ فَعَلَيْهِ تُسْتَحَبُّ عَقِيْبَ الْخَمْسِ مُطْلَقاً. اهـ
Artinya :
“(Faidah) berjabatan tangan yang telah mentradisi setiap saat setelah Shubuh dan Ashar itu tidak ada dalil khusus yang menerangkannya. Berikut ini disebutkan beberapa pendapat para ulama kita :
1.  Pendapat Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam hal itu bid’ah mubahah/boleh diamalkan;
2.  Pendapat imam Nawawi : hal itu bid’ah hasanah/baik untuk diamalkan;
3.  Pendapat ulama yang lain : sebaiknya ditafsil, bagi seseorang yang sudah berada di samping kita sebelum shalat, bemushafahah dengan dia hukumnya boleh, dan bagi seseorang yang sebelum shalat belum ada di samping kita, bermushafahah hukumnya sunnah, karena ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa mushafahah ketika bertemu itu hukumnya sunnah;
4.  Pendapat lain : hukum seseorang yang shalat itu diqiayaskan dengan orang yang sedang ghaib/tidak berada di tempat (karena sedang bersafari rohani). Maka menurut pendapat ini sunnat hukumnya/bukan bid’ah bermushafahah setelah jamaah shalat lima waktu secara mutlak.
Nah, setelah kita simak beberapa pendapat para ulama lengkap dengan argumentasinya, jadi jelas bagi kita bahwa berdasarkan dalil qiyas, mushafahah setelah shalat itu sunnah hukukmnya (bukan bid’ah), karena –sebagaimana kita ketahui- warga NU adalah penganut Islam Ahlissunnah wal jamaah yang berpedoman pada kitabullah, (Al-Qur’an), hadits, ijma’ul ulama dan qiyasul fuqaha’.

MENGUSAPKAN KEDUA TAPAK TANGAN KE WAJAH SETELAH SALAM

Amaliyah warga NU/umat muslim di Jawa sangat beraneka ragam. Oleh karenanya sering kita lihat di dalam amalan ritual mereka itu ada beberapa hal yang rancu. Misalnya ada sebagian dari mereka pada rukun shalat yang terakhir (sewaktu membaca salam) tidak sekedar menoleh ke kanan dan ke kiri, akan tetapi mereka membuka tapak tangan kanannya sambil membaca do’a : أَسْأَلُكَ الْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ ......  pada salam yang pertama, dan membuka tapak tangan kirinya sambil membaca do’a : أَسْأَلُكَ النَّجَاةَ مِنَ النَّارِ........ pada salam yang kedua. Ada lagi yang langsung mengusapkan kedua tangannya ke wajah tanpa membaca do’a-do’a tertentu.
Perlu kita ketahui, bahwa amalan tersebut termasuk salah satu masalah ritual keagamaan yang secara turun temurun selalu diamalkan oleh warga kita, cuma dalil syar’i mengenai hal itu mereka belum mengetahuinya, sehingga ketika ada pihak lain yang mempertanyakannya banyak warga NU yang bingung sambil berfikir dalam batinnya ada atau tidak dalil mengenai dianjurkannya amalan tersebut.
Secara khusus, tidak ada tuntunan dari nabi tentang membuka tapak tangan kanan dan kiri ketika salam sambil membaca do’a tertentu. Yang ada tuntunan dari nabi saw adalah : mengusap wajah setelah salam dengan menggunakan tapak tangan kanan saja dan diteruskan sampai ke bagian dagu sambil membaca do’a khusus yang diucapkan pada saat setelah salam (bukan di sela-sela kedua salam).
Pertanyaannya sekarang: Bagaimana hukum membaca do’a khusus ketika menoleh kekanan dan ke kiri tersebut? Karena rupa-rupanya hal ini sudah menjadi amalan yang diistiqamahkan oleh warga nahdliyin. Jawaban untuk masalah ini bisa diuraikan sebagai berikut:
1.  Apabila dalam melakukan amaliyah tadi ada unsur takhsis/mengkhususkan do’a tersebut di antara dua salam, maka hukumya bid’ah makruhah (bid’ah yang dimakruhkan).
2.  Dan apabila tujuan si pelaku itu berdo’a secara umum, maka hukumnya sunat.
Dengan demikian kepada warga kita yang mengamalkan do’a seperti itu, hendaknya di dalam hatinya ada niat membaca do’a secara umum, dan kepada yang tidak mengamalkan atau tidak setuju, sebaiknya amaliyah semacam ini tidak usah dipersoalkan, karena sudah jelas bahwa hal tersebut termasuk salah satu masalah furu’iyah.
Dalam kitab-kitab fiqih klasik banyak sekali tulisan para ahli fiqih yang menerangkan hukum yang berhubungan dengan amaliyah tersbut, kitab-kitab itu antara lain :
1.  Kitab Bughyatul Mustarsyidin hal. 49 :
(فَائِدَةٌ) رَوَى ابْنُ مَنْصُوْرٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ جَبْهَتَهُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى ثُمَّ أَمَرَّهَا عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ بِهَا عَلَى لِحْيَتِهِ الشَّرِيْفَةِ وَقَالَ: بِسْمِ اللهِ الَّذِيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَللَّهُمَّ اذْهَبْ عَنِّي الْهَمَّ وَالْحَزَنَ وَالْغَمَّ. اَللَّهُمَّ بِحَمْدِكَ انْصَرَفْتُ وَبِذَنْبِيْ اعْتَرَفْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا اقْتَرَفْتُ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ جَهْدِ بَلاَءِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ اْلآخِرَةِ. اهـ
Artinya :
“Diriwayatkan oleh Ibnu Manshur bahwa Rasulullah SAW. ketika selesai shalat (setelah salam) mengusap wajahnya dengan tapak tangannya yang kanan, kemudian diteruskan sampai ke dagunua yang mulia sambil membaca do’a : Bismillahi dan seterusnya”
2.  Kitab al-fatawi al-fiqhiyyah al-kubra juz II hal. 205 :
(وَسُئِلَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ هَلْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَوْ هِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الصَّلَاةُ فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ. لَمْ نَرَ شَيْئًا فِي السُّنَّةِ وَلَا فِي كَلَامِ أَصْحَابِنَا فَهِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا مَنْ يَأْتِي بِهَا بِقَصْدِ كَوْنِهَا سُنَّةً فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ دُونَ مَنْ يَأْتِي بِهَا لَا بِهَذَا الْقَصْدِ كَأَنْ يَقْصِدَ أَنَّهَا فِي كُلِّ وَقْتٍ سُنَّةٌ مِنْ حَيْثُ الْعُمُومُ. اهـ
Artinya :
“Syaikh Ibnu Hajar ditanya : Bagaimana hukumnya membaca shalawat di antara salamnya shalat tarawih? Sunnah atau Bid’ah? Beliau menjawab : bahwa membaca shalawat pada saat yang demikian itu secara khusus kami tidak mengetahuinya dalam sunnah nabi atau dalam perkataan para ulama kita, maka hal itu termasuk bid’ah yang terlarang untuk dilakukan apabila pelakunya mempunyai anggapan bahwa yang dilakukannya itu secara khusus termasuk sunnah. Namun bukan hal yang dilarang jika pelakunya mempunyai anggapan bahwa amalan itu disunnahkan secara umum”.
3.  Kitab Al-Fatawi juz II hal. 372 :
مَسْأَلَةٌ: فِي رَجُلٍ إذَا سَلَّمَ عَنْ يَمِينِهِ يَقُولُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ، أَسْأَلُك الْفَوْزَ بِالْجَنَّةِ، وَعَنْ شِمَالِهِ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ، أَسْأَلُك النَّجَاةَ مِنْ النَّارِ، فَهَلْ هَذَا مَكْرُوهٌ أَمْ لاَ؟ فَإِنْ كَانَ مَكْرُوهًا، فَمَا الدَّلِيلُ عَلَى كَرَاهَتِهِ؟ الْجَوَابُ : الْحَمْدُ لِلَّهِ، نَعَمْ، يُكْرَهُ هَذَا؛ لأَنَّ هَذَا بِدْعَةٌ، فَإِنَّ هَذَا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ اسْتَحَبَّهُ أَحَدٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ إحْدَاثُ دُعَاءٍ فِي الصَّلاَةِ فِي غَيْرِ مَحِلِّهِ، يَفْصِلُ بِأَحَدِهِمَا بَيْنَ التَّسْلِيمَتَيْنِ، وَيَصِلُ التَّسْلِيمَةَ بِاْلآخَرِ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ فَصْلُ الصِّفَةِ الْمَشْرُوعَةِ بِمِثْلِ هَذَا.
Artinya :
(Pertanyaan) : mengenai seseorang ketika salam menoleh ke kanan mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullah ….. أسألك الفوز بالجنة dan menoleh ke kiri mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullah أسألك النجاة من النار hal itu makruh atau tidak? Kalau toh makruh, apa dalil kemakruhannya?
(Jawaban) : Al-Hamdulillah, ya hal tersebut hukumnya makruh termasuk bid’ah, karena rasulullah SAW. tidak melakukannya dan tidak ada salah seorang ulama yang menganjurkannya. Amalan tersebut berarti mengadakan do’a dalam shalat bukan pada tempatnya, yakni memisah antara salah satu bacaan salam dengan sebuah do’a, kemudian menyambungnya dengan salam kedua, padahal tidak boleh seseorang memisah praktek ibadah ritual yang telah disyari’atkan dengan semacam do’a tersebut.
Kemudian mengenai masalah mengusap wajah dengan kedua tangan (kanan dan kiri) setelah selesai shalat, amaliyah semacam ini hukumnya juga sunat, karena shalat secara bahasa mempunyai arti berdo’a, sebab di dalamnya terkandung do’a-do’a kepada Allah SWT. Sehingga orang yang mengerjakan shalat berarti dia juga sedang berdo’a, maka wajar setelah selesai shalat dia disunatkan mengusapkan wajah dengan kedua tangannya. Dan Nabi SAW. Juga mengamalkan seperti itu. Tersebut dalam sebuah hadits riwayat Imam Abu Dawud :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ. رواه أبو داود
Artinya :
“Dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya : apabila Nabi saw. berdo’a, maka beliau mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (HR. Abu Dawud)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More