Senin, 22 Agustus 2011

SHALAT 'IED DI MASJID ATAU DI LAPANGAN?

Sebagian komunitas muslim ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan Shalat hari raya yang dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin selama ini adalah bid’ah, menyimpang dari sunnah Rasul SAW, karena –kata mereka- Nabi SAW selalu melaksanakan Shalat 'Id di lapangan, jika tidak ada hujan. Namun jika hujan beliau baru melaksanakannya di masjid. Mereka berkesimpulan, lebih baik mana kita ikut Nabi atau ikut ahli bid’ah? Kalau ikut Nabi SAW, masjid harus dikosongkan dan orang-orang semuanya harus berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk Shalat 'Ied.

Pengertian Shalat 'Id.
Shalat ‘Id itu ada dua macam; Shalat ‘Idul Fithri dan Shalat ‘Idul Adha
1.      Shalat 'Idul Fithri ialah shalat dua raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal.
2.      Shalat 'Idul Adha ialah shalat dua raka'at yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzul Hijjah.
Hukum shalat 'Id adalah sunnah muakkadah, karena sejak disyari'atkannya Shalat 'Id (tahun dua Hijriyah) sampai akhir hayatnya, Rasulullah senantiasa melaksanakannya. Jumlah raka'atnya ada dua raka'at. Waktunya sejak Saat matahari naik sepenggalah sampai dengan saat zawal (matahari condong sedikit ke barat). Dalam melaksanakan Shalat 'Id, disunnahkan berjama'ah dan setelah Shalat, imam disunnahkan membaca dua kali khotbah seperti khothbah Juma'ah.

Tempat Pelaksanaan Shalat 'Id
            Sebubungan dengan masalah tempat pelaksanaan Shalat 'Id ini, sering kita mendengar pertanyaan; apakah Shalat 'Id itu harus di masjid, tidak boleh di lapangan? Ataukah harus di lapangan sementara masjid harus dikosongkan? Maka dari itu, perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan Shalat 'Id itu, tidak disyaratkan harus di masjid. Ini artinya umat Islam boleh melaksanakannya di masjid dan boleh juga di tempat yang bukan masjid. Mari kita perhatikan perilaku Rasulullah SAW , tinadakan shahabat dan beberapa pendapat ulama mujtahid di bawah ini:
a.    Hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)
b.    Hadits riwayat Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى العيدين الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمر الْحُيَّضُ أن يَعْتَزِلْنَ مصلى الْمُسْلِمِينَ.
Artinya :
“Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: Nabi memerintahkan agar kita mengajak keluar pada hari raya para gadis dan wanita yang dipingit. Dan beliau memerintahkan agar wanita yang sedang haidl menjauh dari lokasi mushalla kaum muslimin”. (HR. Muslim).
Dua buah hadits ini, pengertiannya tidak menunjukkan bahwa Nabi melakukan shalat id di sembarang lapangan, sebagaimana yang difahami oleh sebagian komunitas muslim Indonesia. Akan tetapi hadits tersebut memberi pengertian bahwa Nabi melaksanakan shalat hari raya di mushalla/tempat shalat yang memang dikhususkan untuk shalat id. Ingat kata المصلى dalam hadits yang pertama diberi al mu’arrifah yang mempunyai arti mushalla tertentu, dan dalam hadits kedua dimudlofkan pada kata المسملين. (mushallanya orang-orang Islam).
Hal ini sesuai dengan keterangan dalam kitab Subulus Salam syarah Bulughul Maram juz II hal. 69
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيدِ خَالَفَ الطَّرِيقَ .أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ، يَعْنِي أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنْ مُصَلَّاهُ مِنْ جِهَةٍ غَيْرِ الْجِهَةِ الَّتِي خَرَجَ مِنْهَا إلَيْهِ.


Artinya :
“Bahwasanya ketika hari raya, Rasulullah menempuh jalan yang bebeda, yakni kembali dari mushallanya melewati arah yang tidak beliau lewati sewaktu berangkat menuju mushalla”.
Dan sesuai dengan kitab Subulus Salam juz II hal. 67 :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ.
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha keluar ke mushalla (Al-Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya keluar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)
Kemudian masalah wacana masjid harus dikosongkan dan orang-orang harus berbondong-bondong pergi ke lapangan, jelas ini tidak sesuai dengan tindakan sababat Nabi dan ijtihad para ulama.
Mari kita simak keterangan-keterangan kitab di bawah ini :
a.    Kitab Subulus Salam juz II hal. 71 :
وَقَدْ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ هَلْ الْأَفْضَلُ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ الْخُرُوجُ إلَى الْجَبَّانَةِ أَوْ الصَّلَاةُ فِي مَسْجِدِ الْبَلَدِ إذَا كَانَ وَاسِعًا ؟ الثَّانِي: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إذَا كَانَ مَسْجِدُ الْبَلَدِ وَاسِعًا صَلَّوْا فِيهِ وَلَا يَخْرُجُونَ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ لِلْهَادَوِيَّةِ وَمَالِكٍ أَنَّ الْخُرُوجَ إلَى الْجَبَّانَةِ أَفْضَلُ، وَلَوْ اتَّسَعَ الْمَسْجِدُ لِلنَّاسِ وَحُجَّتُهُمْ مُحَافَظَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ ؛ وَلِقَوْلِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّهُ خَرَجَ إلَى الْجَبَّانَةِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَقَالَ : لَوْلَا أَنَّهُ السُّنَّةُ لَصَلَّيْت فِي الْمَسْجِدِ، وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِضَعَفَةِ النَّاسِ فِي الْمَسْجِدِ. إهـ باختصار
Artinya :
“Pendapat para ulama berbeda menjadi dua dalam hal shalat id,manakah yang afdlol, apakah dilaksanakan di tanah lapang ataukah di masjid yang luas? Imam Syafi’i berpendapat apabila masjid di sebuah negeri itu luas, maka kaum muslimin melaksanakan shalat id di masjid tidak usah keluar ke tanah lapang. Golongan Hadawiyah dan Imam Malik berpendapat : keluar ke tanah lapang itu lebih afdlol walaupun masjidnya luas, alasan mereka karena selalu melaksanakannya di tanah lapang. Dan perkataan Sayyidna Ali ketika beliau keluar ke tanah lapang utnk melaksanakan shalat id : andaikata hal itu bukan sunnah niscaya aku shalat di masjid, dan beliau istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat id di masjid bersama kaum yang tidak mampu.
b.    Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz II hal. 71 :
وَمَتَى خَرَجَ اْلإِمَامُ لِلصَّلاَةِ فِيْ الصَّحْرَاءِ نُدِبَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ غَيْرَهُ لِيُصَلِّيَ بِالضُّعَفَاءِ الَّذِيْنَ يَتَضَرَّرُوْنَ بِالْخُرُوْجِ إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ بِأَحْكَامِهَا الْمُتَقَدِّمَةِ، لأَنَّ صَلاَةَ الْعِيْدِ يَجُوْزُ أَدَاؤُهَا فِيْ مَوْضِعَيْنِ.
Artinya :
“Bila pemimpin negara melaksanakan shalat id di shahra’, dia disunnatkan agar istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan shalat id bersama orang yang tidak mampu yang merasa berat untuk keluar ke shahra’ dengan beberapa keterangan hukum yang terdahulu, karena shalat id itu boleh dilaksanakan di dua tempat.
c.    Kitab Asy-Syarwani Alat Tuhfah :
وَيَسْتَخْلِفُ نَدْبًا إِذَا ذَهَبَ إِلَى الصَّحْرَاءِ مَنْ يُصَلِّى فِيْ الْمَسْجِدِ بِالضَّعَفَةِ وَمَنْ لَمْ يَخْرُجْ.
Artinya :
“Hukumnya Sunnat ketika pemimpin negara pergi ke shahra’ menunjuk seseorang untuk melaksanakan shalat id di masjid bersama orang-orang yang tidak mampu dan orang-orang yang tidak ikut keluar ke shahra’”.
d.    Kitab Fathul Wahhab juz I hal. 83 :
(وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ) لِشَرَفِهِ (لاَ لِعُذْرٍ) كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلتَّشْوِيْشِ بِالزِّحَامِ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ وَضَاقَ الْمَسْجِدُ صَلَّى اْلاِمَامُ فِيْهِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِبَاقِي النَّاسِ بِمَوْضِعٍ آخَرَ. (وَإِذَا خَرَجَ) لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ (اسْتَخْلَفَ) نَدْبًا مَنْ يُصَلِّي وَيَخْطُبُ (فِيْهِ) بِمَنْ يَتَأَخَّرُ مِنْ ضَعَفَةٍ وَغَيْرِهِمْ.
Artinya :
“Melaksanakan shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia, jika tidak ada udzur seperti sempitnya masjid. Kalau keadaan masjid itu sempit maka makruh hukumnya shalat ‘id di masjid karena orang-orang merasa tertanggu disebabkan berdesakan. Bila terjadi hujan atau semisalnya sedangkan mesjidnya sempit maka pemimpin negara melaksanakan shalat di masjid dan dia istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat di tempat lain. Dan apabila pemimpin negara keluar untuk melaksanakan shalat di tempat selain masjid dia disunnatkan istkhlaf/menunjuk orang lain melaksanakan shalat id sekalian berkhotbah di masjid bersama orang yang tertinggal, baik orang yang tidak mampu atau yang lain.
e.    Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351 :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
“Golongan madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.

Mengapa Warga Nahdliyin Bersikukuh Melaksanakan Shalat ‘Id di Masjid?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ikuti uraian di bawah ini :
1.    Setelah memahami beberapa hadits tentang pelaksanaan shalat id, para ulama kita berkesimpulan bahwa lapangan yang ada di zaman sekarang ini di banding dengan mushallal id nya Nabi, itu jelas tidak ada kesamaan sama sekali. Hal ini bisa kita fahami :
a.    Dari hadits Ummi ‘Athiyah yang menerangkan bahwa mushallanya Nabi itu terpelihara kehormatannya dan kesuciannya. Hal ini terbukti dalam riwayat tersebut bahwa wanita yang sedang haidl di perintahkan agar menjauh dari mushalla. Sedangkan lapangan kita sama sekali tidak terpelihara kehormatan dan kesuciannya, mungkin ada kotoran binatang, bahkan kotoran manusia di situ.
b.    Dari hadits riwayat Abi Sa’id, bahwa mushallal id nya Nabi adalah sebidang tanah yang telah ditentukan/diketahui oleh banyak orang bahwa sebidang tanah itu adalah tempat shalat id.
وَعَنْهُ أَيْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى.
Kemudian riwayat tersebut disyarahi/ diperjelas oleh syaikh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani sebagai berikut :
فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوْفٌ، بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ. (سبل السلام شرح بلوغ المرام جزء ثاني ص 67)
Sedangkan lapangan kita -sebagaimana banyak orang tahu- adalah tempat berbagai macam kegiatan, bahkan sering ditempati kegiatan maksiat dan perbuatan munkarat.
2.    Karena sesuai dengan apa yang diamalkan oleh sahabat Ali ra dan difatwakan oleh para Imam madzhab : apabila pimpinan negara melakukan shalat di As-Shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan) maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan jamaah shalat id di masjid, tanpa mengosongkannya begitu saja.
Dengan demikian warga Nahdliyin tetap konsis dengan pendiriannya yakni menjunjung tinggi dan mengikuti amalan sahabat nabi dan fatwa para ulama madzhab.

Kesimpulan
 Dari uraian tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa tempat pelaksannan shalat id yang tepat adalah :
1.    Menurut para Imam madzhab, adalah sebagai berikut :
a.    Kalau masjid mampu untuk menampung para jamaah, maka shalat id dilaksanakan di masjid dan jika tidak mampu menampung maka dilaksanakan di as-shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan).
b.    Selain ulama Malikiyah, para imam madzhab berpendapat pemimpin negara melaksanakan shalat id di as-shahra’, maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di masjid, sebaliknya apabila pemimpin negara melaksanakan shalat di as-shahra’, dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di as-shahra’.
c.    Khusus ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia/utama, kecuali jika ada udzur seperti sempitnya masjid, maka dalam hal ini shalat id dilaksanakan di as-shahra’ dan masjid tetap ditempati shalat oleh mereka yang tidak pergi ke as-shahra’.
2.    Menurut hadits nabi dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat id di dua tempat yakni di masjid dan di mushallal id atau mushallal muslimin, tidak pernah melaksanakannya di sembarang lapangan.

12 komentar:

Inilah petunjuk yg tepat, shalat id dimasjid. Lapangan yg dimaksud adalah lapangan khusus dan terjaga kehormatan / kesuciannya, Di Indonesia lapangan dimaksud tidak ada.

jangan bilang di indonesia tdk ada....apakah mas sugeng udah surfei antara lapangan perlapangan...indonesia luas jembar lan ombo....kalo mas nya mengatakan tdk ada secara tdk langsung akan menyalahkan org2 yg melakukan shalat ied di lapangan...sungguh tdk bijak..dan terlalu merasa benar sendiri....masalah hukum yg hati2

Q solat dilapangan kok. Meskipun atas nama masjid.

Q solat dilapangan kok. Meskipun atas nama masjid.

Yang benar yang mana ya? disini dikatakan mushallah adalah sebidang tanah, sedangkan di sumber lain dikatakan mushallah adalah shakhra, yang diartikan sebagai tanah luas di padang pasir. Sy bukan muslim tapi hanya ingin memahami saja

swastika yang baik hati...ashshahra itu artianya lapangan tertentu(bukan semua lapangan)..sedangkan musholla artinya tempat sholat)...jadi makna secara utuhnya adalah " dilapangan yang diperuntukan untuk tempat sholat".demikian yang dimaksud oleh ustadz diatas..atau: sholat Id dilakukan di Masjid atau ditanah lapang yang khusus untuk sholat(bukan lapangan bola,tempat parkir atau menutup jalan dll)wallahu'alam

yg bralasan lapangan diindinesia tdk trjaga kehormatannya krn lapangan tmpat brbagai mcam kegiatan mka itu trlalu mngada ada subjektif dan fanatik dlam membela pndpat sholat di masjid, memangnya apa kriteria kehormatan suatu tmpat?? slama dlapangan slama pelaksaan sholat tdk dilakukan utk kemungkaran mka dsitulah kehornatan trjaga, jk kehormatan suatu tmpat dilihat dr masa lalunya tntu gereja2 tdk diperbolehkan dirumbah mjd masjid bukan? Krn pastinya itu bekas tmpay kesyirikan?? Cba berfikir logis yg objektif nahdiyin...,

kata siapa lapangan zaman nabi lebih bersih dari lapangan saat ini? Di sekitar mesjid nabawi pernah ada orang arab badui dan seekor anjing yg kencing disitu, dan Rasulullah salallahualaihiwassalam memerintahkan utk membersihkannya. Itu di sekitar mesjid, apalagi di lapangan. Wallahu a'lam.

kalao alasannya masjid atau musholla lebih suci,.kenapa orang indonesia kalao sholat istisqo, juga di lapangan, bahkan ada yang melaksanakan sholat istisqo, di tengah persawahan,kalao rosululloh sudah mencontohka sholat ied di lapagan ya kita lakukan saja itu memang tuntunan,....

nabi saja pernah menginjak kotoran sandal beliau, kemudian beliau melepasnya saat sholat, padahal ini di dalam masjid. tanah yg jelas najis pun bisa disucikan dengan yang bersih,apalagi tanah yang suci yg kita pakai sholat. Abu Dawud telah meriwayatkan dalam Sunannya, dari seorang wanita Bani ‘Abdil Asyhal, dia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami memiliki jalan yang berbau busuk menuju masjid, apa yang harus kami lakukan kalau kami sudah bersuci,” beliau bersabda, ‘Bukankah sesudahnya ada tanah yang lebih baik,’ wanita itu menjawab, Aku berkata, ‘Ya,’ beliau bersabda, “Tanah yang baik tersebut adalah untuk tanah yang itu (yang bau).”
‘Abdulah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “Kami tidak berwudhu’ karena tanah yang kami injak.”
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, bahwa dirinya berjalan pada tanah yang kena hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, dan tidak mencuci kedua kakinya.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ditanya tentang seorang lelaki yang menginjak kotoran, beliau berkata, “Bila kering maka tidak mengapa, bila basah maka dicuci yang terkena.”

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Saya bukan anggota ormas islam manapun, saya hanya berusaha jadi muslim yang baik, sehingga ketika pertentangan antara tokoh2 agama di kampung kami (Id 2019), antara di Mesjid jami dan Lapangan, Saya hanya berusaha menjaga perdamaian, menengahi diantara keduanya. Sulit mendapatkan sepakat, mereka memiliki alibi masing2 berdasarkan dalil-dalil. Saya sendiri setuju dengan Lapangan yang mampu menampung semua, Pria, Wanita dan anak, dan berdasar pada dalil yang sohih, tapi saya menghargai yang bersi kukuh di mesjid. Dulu sebelum 2012, mesjid menampung semua, sekarang 2X renovasi, tetap tak mampu menampung karena pesatnya penambahan jumlah penduduk. Terbagilah di 2 tempat. Mesjid dan lapangan. Inginnya Sholat Id bersama sekampung di lapangan, tetapi katanya tidak layak di lapangan bola warga kampung (13mX30m). Lapangan itu hanya digunakan acara agustusan setiap tahunnya... Tidak ada penggunaan lapangan pada 11 bulan lainnya. Saya hanya punya pikiran: apabila kita beritikad baik melaksanakan apa yang dicontohkan rosul yang mulia ini, sholat id bersama seluruh muslimin/muslimat dilapangan, mungkin seharusnya kita umat islam mendapat dukungan dari Pemerintah menyediakan lapangan khusus 2 sholat id di kota2/kampung2... Jika islam di kita mengaku sebagai ahlussunnah, sementara Sholat id di lapangan seperti rosul tak pernah dilaksanakan bahkan jadi pertentangan. Meskipun tidak ekonomis, lapang seluas lapang bola, hanya digunakan 2X sholat id dalam setahun ditambah Sholat gerhana matahari/bulan jika terjadi, atau sholat lainnya, dan lapangan itu tidak digunakan untuk hal lain (Tempat usaha, sehingga tak menghasilkan apapun), tetapi harus dijaga ketat dari najis kotoran burung / binatang lain /manusia, dari perbuatan/acara2 maksiat. Kalo tidak rela berkorban, Sunnah ini tak kan terlaksana.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More