Selasa, 23 Agustus 2011

MENGQODLO SHALAT FARDLU YANG TELAH LEWAT

Sebelum membahas masalah mengqodlo shalat fardlu ini terlebih dahulu kita harus faham bahwa persoalan ini adalah termasuk masalah ijtihadiyah, sehingga ada salah satu golongan yang berbeda pendapat. Setiap golongan hendaklah berpegang pada pendiriannya yang dianggap kuat tanpa mengatakan kepada kelompok lain mereka itu sesat, mereka itu bid’ah dan lain sebagainya. Kewajiban bagi setiap golongan adalah menjelaskan pendiriannya dengan dalil-dalil yang sahih dan argumentasi yang jelas.
Semua ulama madzhab telah ijma’ bahwa mengqodlo shalat itu wajib kukumnya bagi orang yang meninggalkannya karena tertidur atau lupa. Ketetapan hukum tersebut didasarkan pada hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim :
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ. رواه البخاري ومسلم
Artinya :
“Barang siapa tidur meninggalkan shalat atau melupakannya maka hendalah dia mengerjakan shalat tersebut bila sudah ingat. Tidak ada tebusan baginya kecuai dengan mengerjakannya”. (HR. Bukhari Muslim)
Sedangkan mengenai orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja (tidak karena tidur atau lupa) sehingga waktunya keluar, dia wajib mengqodlo atau tidak, ini terdapat perbedaan pendapat antara sebagian golongan dhahiriyah dan jumhurul ulama.
Sebagian golongan dhahiriyah, antara lain Ibnu Hazm dan para pengikutnya berpendapat bahwa orang tersebut tidak usah mengqodlo, hanya saja dia tetap berdosa, bahkan selamanya dia tidak bisa mengqodlonya, karenanya hendaklah dia memperbanyak amal kebajikan dan melakukan shalat sunat sebanyak-sebanyaknya agar timbangan amalnya menjadi berat besok di hari kiamat dan hendaklah dia bertaubat serta memohon ampun kepada Allah SWT. Golongan ini mengemukakan beberapa argumentasi antara lain :
1.  Sesungguhnya mengqodlo shalat itu termasuk kewajiban syari’at, sedangkan menetapkan syari’at itu adalah hak Allah SWT. lewat rasulNya. Andai kata qodlo shalat itu wajib bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja maka Allah dan rasulNya tidak akan lengah atau lupa menerangkannya. Firman Allah SWT.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا. مريم : 64
Artinya :
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam : 64)
2.  Sesungguhnhya Allah SWT telah menetapkan batas waktu tertentu untuk setiap shalat fardlu, baik permulaannya maupun akhirnya. Shalat itu sah dilakukan dalam waktu yang sudah ditentukan dan batal jika dilakukan di luar waktunya. Jadi tidak ada bedanya antara melakukan shalat sebelum waktunya masuk atau sesudah waktunya habis karena keduanya dilakukan bukan pada waktunya. Dan pelakunya berarti melanggar batas-batas yang telah ditentukan Allah.
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ. الطلاق : 1
Artinya :
“Barang siapa melanggar batas-batas Allah, maka sesungguhnya dia itu menganiaya dirinya sendiri” (QS. At-Thalaq : 1)
3.  Andai kata masih diperbolehkan mengerjakan shalat setelah waktunya habis maka tidak ada artinya Nabi SAW. memberi batas waktu untuk akhir shalat. Dan berarti pula sabda Nabi SAW. itu tidak ada gunanya. Hal ini tidak mungkin terjadi.
4.  Setiap amal yang digantungkan dengan waktu tertentu, maka tidak sah andai kata dikerjakan di luar waktunya. Andai kata sah dikerjakan di luar waktunya maka berarti waktu yang telah ditentukan tadi sebenarnya bukan waktunya amal tersebut.
Sementara Jumhurul Ulama sepakat bahwa mengqodlo shalat yang telah lewat itu tetap wajib bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja. Dan pendapat inilah yang diikuti oleh warga NU. Golongan jumhur berpegang pada beberapa dalil, antara lain :
1.  Hadits riwayat Imam Bukhari :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا جَاءَ يَوْمُ الْخَنْدَقِ بَعْدَمَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، جَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ وَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كِدْتُ أَنْ أُصَلِّيَ الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ أَنْ تَغْرُبَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَاللهِ مَا صَلَّيْنَا). فَنَزَلْنَا مَعَ النَّبِيِّ بُطْحَانَ فَنَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْ نَالَهَا، فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ. رواه البخاري. إهـ صحيح بخاري مشكول جزء ثالث ص 33
Artinya :
“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra. Bahwa Umar bin Khatthab ra. Datang pada waktu perang khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencaci maki orang-orang kafir Quraisy dan berkata : Ya Rasulallah saya hampir saja tidak shalat Ashar sehingga matahari terbenam, maka Nabi pun bersabda : Demi Allah, saya sendiri juga belum shalat Ashar, maka kita bersama Nabi turun menuju ke tempat saluran air kemudian beliau berwudlu dan kami pun berwudlu untuk shalat dan beliau pun shalat Ashar setelah matahari terbenam, dan sesudah itu shalat Maghrib”. (HR. Bukhari).
2.  Kesepakatan para ulama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abd. Rahman Al-Juzairid dalam kitabnya “al-fiqih ala al-madzahib al-arba’ah” :
قَضَاءُ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوْضَةِ الَّتِيْ فَاتَتْ وَاجِبٌ عَلَى الْفَوْرِ سَوَاءٌ فَاتَتْ بِعُذْرٍ غَيْرِ مُسْقِطٍ لَهَا أَوْ فَاتَتْ بِغَيْرِ عُذْرٍ أَصْلاً بِاتِّفَاقِ ثَلاِثَةٍ مِنَ اْلأَئِمَّةِ، وَلاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْقَضَاءِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَالسَّعْيِ لِتَحْصِيْلِ الرِّزْقِ وَتَحْصِيْلِ الْعِلْمِ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ وُجُوْبًا عَيْنِيًّا وَكَاْلأَكْلِ وَالنَّوْمِ وَلاَ يَرْتَفِعُ اْلإِثْمُ بِمُجَرَّدِ الْقَضَاءِ بَلْ لاَ بُدَّ مِنَ التَّوْبَةِ كَمَا لاَ تَرْتَفِعُ الصَّلاَةُ بِالتَّوْبَةِ بَلْ لاَ بُدَّ مِنَ الْقَضَاءِ لِأَنَّ مِنْ شُرُوْطِ التَّوْبَةِ اْلإِقْلاَعُ عَنِ الذَّنْبِ وَالتَّائِبُ بِدُوْنِ قَضَاءٍ غَيْرُ مُقْلِعٍ عَنْ ذَنْبِهِ.
Artinya :
“Mengqodlo shalat fardlu yang lewat waktunya itu wajib dilakukan seketika, baik meninggalkannya karena udzur yang tidak menggugurkan kewajiban shalat atau tanpa udzur sama sekali. Demikian menurut kesepakatan tiga orang imam madzhab. Tidak boleh mengakhirkan pelaksanaan qodlo, kecuali karena udzur, seperti untuk mencari rizqi, menuntut ilmu yang fardu ‘ain, makan dan tidur. Seseorang belum bebas dari dosa hanya dengan mengqodlo akan tetapi harus dengan taubat juga, sebagaimana dia belum bebas kewajiban shalatnya hanya dengan bertaubat saja, akan tetapi harus dengan qodlo juga, karena di antara syarat sahnya taubat adalah harus menghentikan perbuatan dosa, sedangkan orang yang bertaubat tanpa mengqodlo berarti belum menghentikan dosanya”.
3.  Qiyas, yakni mengqiyaskan/menyamakan orang yang sengaja meninggalkan shalat dengan orang yang tertidur atau lupa. Jelasnya : hadits tentang wajibnya qodlo bagi orang yang tertidur atau lupa, memberi petunjuk bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu juga wajib mengqodlo, sebab kalau yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa masih diwajibkan mengqodlo apalagi bagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Hal tersebut seperti firman Allah SWT. :
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. الإسراء : 23
Artinya :
“jika salah seorang di antara Bapak dan Ibumu atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” kepada keduanya” (QS. Al-Isra’ 23).
Ayat ini memberi petunjuk kalau berkata “ah” saja dilarang, apalagi memukulnya, malah sangat dilarang.
Demikian pula sabda Nabi SAW. :
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُ أَبُوْهَا فِي نَفْسِهَا، وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا. رواه مسلم وأبو داود والنسائي عن ابن عباس. الجامع الصغير ص 130
Artinya :
Si janda itu lebih berhak terhadap urusan pribadinya (dalam hal menikah) dari pada walinya. Sedangkan si gadis ayahnya cukup meminta persetujuan kepadanya. Tanda setuju si gadis adalah diamnya”. (HR. Abu Dawud dan Nasa’ai).
Jadi kalau si gadis yang diam saja sudah dianggap sah persetujuannya, apalagi kalau dia itu berbicara (malah lebih dianggap sah). Penentuan hukum yang demikian ini dalam istilah ilmu Ushul Fiqih disebut qiyas aulawi.
Ada lagi petunjuk dari hadits lain :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ  رضي الله عنهما أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ فَقَالَ: لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ، أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ ، قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى. رواه أحمد
Artinya :
“Dari Ibnu Abbas ra. Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada nabi saw. dia berkata : ya rasulallah, sesungguhnya ibu saya telah meninggal dunia padahal dia punya hutang puasa selama satu bulan, apakah boleh saya mengqodlo puasa untuk ibuku itu? Rasulullah menjawab : andai kata ibumu itu punya hutang, apakah kamu juga membayarnya? Orang itu menjawab : ya, maka nabi kemudian bersabda : kalau begitu hutang Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Ahmad).
Kita semua memaklumi bahwa isi hadits tersebut mengenai qodlo puasa, namun bisa juga digunakan untuk pengertian yang lebih umum, karena yang dianggap dalam memahami suatu kata adalah artinya yang umum bukan hanya melihat kepada sebabnya yang khusus. Apalagi bila difahami bahwa dalam riwayat hadits tersebut nabi saw. memberi petunjuk agar kita menggunakan qiyas.
Sudah tidak diragukan lagi, bahwa orang meninggalkan shalat dengan sengaja itu berarti shalat tersebut menjadi tanggungan baginya yang harus dia lunasi sebagaimana tanggungan terhadap sesama manusia, disamping dia harus bertaubat dan mohon ampun kepada Allah karena kelengahannya tidak mengerjakan shalat pada waktunya. Sedangkan melunasi hutang itu wajib menurut hadits di atas, baik hutang itu kepada Allah atau kepada sesama manusia.
Dengan uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa pendapat golongan dhahiriyah yang menyatakan tidak wajib mengqodlo shalat fardlu yang lewat dan tidak sah shalat yang dikerjakan sesudah habis waktunya adalah pendapat yang jauh dari kebenaran. Bahkan qodlo itu tetap wajib bagi orang yang meninggalkan shalat, baik karena tertidur, lupa, apalagi disengaja. Perlu diingat bahwa pendapat jumhurul ulama’ yang merupakan pendapat mayoritas umat Islam itulah yang mendekati kebenaran, bila dibanding dengan pendapat golongan kecil yaitu golongan dhahiriyah yang pengikutnya sangat sedikit sekali.

2 komentar:

alhamdulillah........... saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan dari hati saya, karena penah saya sampaikan di suatu mejlis jamiyyah,,,namun jawabanya seperti golongan dahiriyah............ syukron..

Saya lebih memilih ke masjid yg nggak pakai shalawatan diantara adzan dan iqamah. Apalagi, yg shawalatan anak kecil2 belum baligh dan belum mengerti tajwid.

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More