KH Maioen Zubair

Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu'aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian..

AMALIYAH NU

Amalan-amalan orang-orang umum seperti pujian, walimatul hamli, ulang tahun semua ada keterangan dan dasarnya disini

SANTRI SARANG BLOGGER

BLOGGER SANTRI SARANG

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Aliran-aliran

Perpecahan pemeluk agama menimbulkan adanya....

Sabtu, 24 Desember 2011

Stop Menuduh Bid'ah, Tidak Semua Bid'ah Hukumnya Haram

Stop Menuduh Bid'ah
Assalamualaikum Wr. Wb.

Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam, sebagaimana perkara yang disebutkan oleh para Imam menegnai perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, tidak semua perbuatan menjadi haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada benang merahnya.

Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum
(status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidahkaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai“bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukumsunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ;
Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.

Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”,

diantara bid’ah yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orangorang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya;
diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ;
diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat”

Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :
قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي
عنه في آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض
البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه
فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ
غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من
السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا
يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع
المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها
إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-
Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan
mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah kaidah syari’ah, sehingga
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.

2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ahwajibah).

3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan
madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya
adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain
sebagainya.

4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf danlain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan
perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan
setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “

Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ahyang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :


أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف يعني أنها محدثة « نعمت البدعة هذه » : فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini
termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk, dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan
(shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya.
Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu samasama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.

LANJUT MASALAH BID’AH
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya umum).

Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam danyang tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :


قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات

“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”.

Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam Syarh Shahih Imam Muslim :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) merupakan takhsish terhadap sabda Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”.

Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.

Pendefinisian Bid’ah
Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya,
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya”

dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :

بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة

“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”.

Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam
mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة

“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”.

Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang
mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. 95 Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.
Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama.

Sumber: Tahlilah menurut mazhab syafi'i oleh ashhabur royi, Sufi Road

Senin, 19 Desember 2011

Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah SWT di Hari Kiamat

قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ، فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ، الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ، وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ، وَجَمَالٍ، فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى، حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

(صحيح البخاري)

Sabda Rasulullah saw : “Tujuh Golongan yg dinaungi Allah dihari kiamat yg tiada tempat berteduh selain yg diizinkan Nya swt, Pemimpin yg Adil, dan pemuda yg tumbuh dengan beribadah pd Tuhannya, dan orang yg mencintai masjid masjid, dan dua orang yg saling menyayangi karena Allah, bersatu karena Allah dan berpisah karena Allah, dan orang yg diajak berbuat hina oleh wanita cantik dan kaya namun ia berkata : Aku Takut pd Allah, dan pria yg sedekah dg sembunyi2, dan orang yg ketika mengingat Allah dalam kesendirian berlinang airmatanya” (Shahih Bukhari)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Suci dan Luhur, tiada satu pun dari segala yang terjadi dan yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala, kecuali merupakan bimbingan hikmah Ilahi untuk mencapai keluhuran, baik hal itu berupa musibah atau pun kenikmatan Dimana musibah yang terjadi itu menanti sifat sabar dari seorang hamba, yang mana sabar adalah merupakan penghancur musibah yang terkuat, namun tentunya diiringi juga dengan usaha, karena Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu untuk tidak member musibah, atau memberi musibah yang lebih besar dari musibah tersebut. Sayyidina Umar bin Khattab berkata : “Aku bersyukur dengan adanya musibah padaku, sebab beberapa hal, diantaranya karena Allah subhanahu wata’ala tidak menimpakan musibah pada imanku, kedua bahwa Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu memberikan musibah yang lebih besar dari musibah yang telah datang kepadaku, namun Allah subhanahu wata’ala hanya menurunkan musibah tersebut, dan ketiga dengan musibah itu Allah subhanahu wata’ala menghapus dosa-dosaku”. Hal ini sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa segala musibah kesemua itu adalah penghapusan dosa, meskipun hanya sekedar kegundahan hati hal itu juga menghapus dosa. Dan kesabaran dengan adanya musibah yang puncak dari kesabaran itu adalah bersyukur, justru hal tersebut akan melebur musibah, sehingga musibah berubah menjadi kemudahan dan kenikmatan. Jika seseorang mempunyai anak kecil dan Allah member musibah denga sakit maka Allah subhanahu wata’ala akan memberi kesembuhan baginya, jika ada yang ditimpa kesempitan harta maka akan Allah limpahkan kemakmuran dan kecukupan harta baginya, dan jika seseorang mendapatkan masalah apapun maka Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu dan siap menyelesaikan seluruh masalah-masalahnya, dimana tidak ada satu makhluk pun yang mampu menyelesaikan seluruh masalah. Masalah apapun yang ada, Allah subhanahu wata’ala Maha Mampu menyelesaikannya, bahkan sekecil-kecil permasalahan seekor semut kecil yang ingin mengangkat kakinya untuk melangkah hingga masalah perputaran alam semesta yang demikian luasnya. Hingga perasaan semut yang ketakutan ketika prajurit nabiyullah Sulaiman AS lewat, Allah pun mengetahuinya. Begitu juga perasaan seorang hamba yang dalam kesendiriannya merasa risau dan kebingungan, dan ia tidak mengatakan atau mengadukannya kepada orang lain, namun Allah subhanahu wata’ala melihat dan mendengarnya serta Maha Mampu dan siap untuk menghilangkan musibah dan kegundahannya. Namun Sang Maha Pengatur, Sang Maha Pemberi, Sang Maha memudahkan setiap permasalahan semakin hari semakin ditinggalkan oleh manusia, dimana ketika datang ajakan luhur namun ditinggalakan padahal mampu untuk melakukannya, karena Allah subahanahu wata’ala tidak membebani hamba lebih dari kemampuannya. Banyak orang yang belum mengerti Al qur’an namun ia layak membacanya meskipun belum mengerti maknanya, dan ada juga yang belum bisa membaca Al qur’an maka ia harus mempelajarinya, jika sibuk bagaimana? jika sangat sibuk bisa dengan mempelajarinya sekali dalam seminggu atau sekali dalam sebulan, namun dalam hati tidak ada perasaan menolak Al qur’an Al Karim. Demikian pula syariat Islam yang lainnya seperti hukum shalat, hukum wudhu’, hukum puasa, hukum zakat, hukum haji dan lainnya kesemua itu juga perlu dipelajari dimana kesemua itu dalam waktu ratusan tahun pun kita mempelajarinya hal itu tidak akan pernah selesai, namun selayaknya waktu luang kita jauh lebih baik kita isi dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, agar kita semakin mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala. Seseorang yang dalam hidupnya ada niat atau keinginan untuk belajar dan juga mengerjakan pekerjaan atau aktivitas yang lainnya maka Allah subhanahu wata’ala akan memudahkan untuknya jalan menuju ke surga, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَلَّ اللَّهُ لَهُ طَرِيقاً إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”

Guru mulia Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafizh berkata dalam salah satu qasidahnya, yang artinya : “Ketika Allah subhanahu wata’ala membuka tabir penghalang manusia untuk melihat Allah, maka itulah saat-saat yang terindah”, atau melihat sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan makhluk terindah dari seluruh ciptaan Allah subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari sekedar ciptaan Allah subhanahu wata’ala, namun beliau adalah makhluk terindah dari semua ciptaan Allah. Ketika seseorang mengingat bahwa ada sosok manusia yang paling baik dan ramah, paling berlemah lembut dan berkasih sayang, dimana ketika ada orang datang kepadanya dengan penuh dosa maka beliau doakan dan dimohonkan pengampunan kepada Allah subhanahu wata’ala, bahkan musuh-musuh beliau berusaha dilindungi agar tidak semuanya meninggal agar kelak keturunan mereka bisa selamat dan mendapatkan hidayah, maka siapa yang tidak merindukan sosok manusia yang paling berlemah lembut seperti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Diriwayatkan ketika sayyidah Aisyah Ra sedang mencari jarum yang terjatuh di kamarnya di malam hari, dan di saat itu hanya ada pelita pelita yang cahayanya sangat kecil, setelah beberapa waktu dicari jarum itu tidak pula ditemukan, maka ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan masuk ke dalam kamar maka jarum itu pun terlihat dengan jelas, kemudian sayyidah Aisyah Ra berkata : “Wahai Rasulullah, betapa terangnya wajahmu”, cahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda dengan cahaya lampu yang mana cahaya lampu menyakitkan mata, namun cahaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyakitkan mata, sehingga Allah menamakan beliau sebagai “Siraajan Muniira” ( cahaya yang terang benderang).

Ketika seorang sahabat datang kepada salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang terdapat dalam Fathul Bari sahabat tersebut berkata : “Wahai Ummul mu’minin, gambarkanlah kepadaku bagaimana indahnya wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”. Dan diriwayatkan oleh sayyidina Ali dalam menggambarkan keindahan wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seakan matahari dan bulan beredar di wajah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil cermin dan berkata : “jika engkau ingin melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lihatlah ke cermin ini”, maka sahabat tersebut melihat ke cermin itu namun yang telihat bukanlah wajahnya tapi wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat tersebut kaget dan heran bagaimana cermin itu bisa memperlihatkan wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Cermin itu dulu pernah digunakan untuk bercermin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun setelah itu cermin tersebut tidak mau menampakkan wajah lain selain wajah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaikan rekaman foto yang merekan wajah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Saat ini kita berada di dalam bulan yang luhur bulan Muharram, dimana di bulan ini telah diselamatkan nabi Musa As dari kejaran Fir’aun, di bulan itu pula lautan terbelah agar Fir’aun tenggelam dan nabi Musa selamat dari kejarannya. Dan di bulan ini nabi Nuh dan kaumnya yang beriman diselamatkan dari banjir yang begitu besar, dan di bulan ini pula Allah subhanahu wata’ala melimpahkan banyak pertolongan kepada hamba-hamba-Nya, terlebih lagi untuk ummat sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka perbanyaklah doa dan munajat kepada Allah subhnahu wata’ala. Teriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ke sepuluh bulan Muharram, dan hal ini merupakan puasa sunnah bukan puasa wajib, yang mana jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa, namun berbeda dengan hal yang wajib dimana jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa. Maka disunnahkan untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram, dan diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa pahala puasa pada tanggal 10 Muharram menghapus dosa setahun yang lalu. Dan diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memaksakan diri untuk berpuasa di suatu hari melebihi puasa pada tanggal 10 Muharram, kecuali puasa di bulan Ramadhan yang merupakan hal yang wajib, namun selain puasa ramadhan, diantara puasa sunnah yang paling disukai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah puasa 10 Muharram, dan disunnahkan juga untuk puasa pada tanggal 9 Muharram, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabari bahwa orang Yahudi juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram maka Rasulullah mengatakan bahwa di tahun yang akan datang beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terlebih dahulu wafat sehingga tidak sempat melakukan puasa pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ التَاسِعَ

“ Jika aku masih hidup hingga tahun depan maka aku akan puasa tanggal 9 (Muharram)”

Dan Al Imam As Syafi’i berkata bahwa sunnah muakkadah untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, akan tetapi tidak apa-apa jika hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja. Bagi yang tidak mampu untuk berpuasa, seperti orang yang sudah sangat tua, orang-orang yang sangat sibuk dan banyak pekerjaan sehingga tidak mampu untuk berpuasa atau wanita-wanita yang sedang berhalangan (menstruasi) maka doakanlah orang-orang yang berpuasa agar diberi kekuatan dan puasanya diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, atau dengan menyiapkan buka puasa untuk orang-orang yang berpuasa, itulah cara yang terbaik untuk orang yang tidak mampu berpuasa, agar tidak terlewat dari kemuliaan yang datang dari Allah subhanahu wata’ala.

Sampailah pada hadits mulia, dimana ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah subhanahu wata’ala di saat tidak ada naungan selain naungan Allah subhanahu wata’ala, naungan yang dimaksud adalah tempat berteduh dan berlindung dari panasnya matahari di padanga mahsyar kelak di hari kiamat, dimana jika matahari itu berpijar dengan panas seperti saat di padang mahsyar, maka tidak akan ada kehidupan di permukaan bumi ini, yang mana matahari itu tidak ada lagi cahayanya namun yang tersisa hanya panasnya saja yang gelap gulita, bagaikan bola hitam yang sangat panas dan menakutkan. Ketika itu semua cahaya sirna kecuali cahaya hamba-hamba yang beriman, yang dipimpin oleh cahaya manusia yang paling beriman, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Merekalah yang akan terang benderang dan cahayanya melebihi cahaya bintang-bintang, Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Abadi yang memberikan cahaya kepada hamba-hamba-Nya dengan cahaya ketenangan, cahaya kedamaian, cahaya kebahagiaan, cahaya kemudahan, dan cahaya keluhuran di dunia dan akhirat. Maha Suci Allah dan Maha Indah, dan betapa suci jiwa-jiwa yang menyembah Allah dan tidak menyamakan Allah dengan makhluk, sebagaimana firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

( الشورى : 11 )

“ Tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya, dan Dia (Allah) Maha Mendengar dan Melihat”. ( QS: As Syuuraa)

Allah subhanahu wata’ala maha mendengar, namun pendengaran Allah tidak membutuhkan telinga, begitu juga Allah melihat namun penglihatan Allah tidak membutuhkan mata, dan Allah juga berfirman dengan menurunkan wahyu namun Allah tidak membutuhkan lisan, Allah subhanahu wata’ala juga berbuat atau melakukan sesuatu namun hal itu tidak membutuhkan jasad, dimana penglihatan Allah lebih agung dari penglihatan makhluk-Nya dan seluruh penglihatan makhluk bersumber dari-Nya, tidak satu pun makhluk melihat kecuali dari anugerah Allah subhanahu wata’ala, tidak pula satu pun makhluk mendengar kecuali dari anugerah Allah subhanahu wata’ala, dan makhluk tidak mampu menciptakan penglihatan dan pendengarannya sendiri, bahkan tidak mampu menciptakan asal muasal dirinya yang terbuat dari sel yang tidak terlihat mata. Allah subhanahu wata’ala Yang menciptanya, Allah Yang menghidupkannya di bumi kemudian dikembalikan ke alam barzakh, dan di alam barzakh akan datang malaikat setelah seseorang dimasukkan ke dalam kubur dan kemudian ditinggalkan oleh yang mengantarnya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam riwayat Shahih Al Bukhari bahwa seseorang yang meninggal dan telah dikuburkan mendengar hentakan kaki orang-orang yang meninggalkan perkuburannya di saat itu, setelah itu datanglah malaikat memperlihatkan sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Fulan, apa yang engkau ketahui tentang orang ini?”, maka jika ia adalah orang yang beriman ia akan menjawab :

هُوَ مُحَمَّدٌ هُوَ مُحَمَّدٌ

“Dia adalah Muhammad, dia adalah Muhammad”.

Namun jika ia adalah seorang yang munafik dan banyak berbuat dosa, maka ia akan menjawab : “Aku tidak mengenalnya”.

Dan saat-saat seperti itu akan datang kepada kita semua, semoga di saat jasad kita diturunkan ke liang lahat lalu ditutup dengan tanah, dan orang-orang yang mengantarkan kita mulai meninggalkan kita sendiri di perkuburan dan langkah-langkah mereka yang meninggalkan perkuburan terdengar oleh kita, dan ketika itu diperlihatkan kepada kita sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan ditanyakan kepada kita maka kita akan menjawab :

هُوَ مُحَمَّدٌ هُوَ مُحَمَّدٌ

“Dia adalah Muhammad, Dia adalah Muhammad”

Kembali pada hadits yang kita baca, bahwa ada 7 golongan yang dinaungi oleh Allah subhanahu wata’ala kelak di hari kiamat, dan dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar bahwa banyak yang akan mendapatkan naungan Allah subhanahu wata’ala kelak di hari kiamat, namun cir i-ciri mereka terdapat dalam hadits ini, maka disebutlah dengan 7 golongan yang akan mendapatkan naungan Allah subhanahu wata’ala kelak di hari kiamat. Pertama adalah seorang pemimpin yang adil, karena sangat berat untuk menjadi seorang pemimpin yang adil. Seperti contoh seorang ketua RT, yang mana dia juga mempunyai keluarga, mempunyai kesibukan atau pekerjaan yang lainnya, suatu hari sebelum adzan Subuh dan di saat semua orang masih tidur tiba-tiba rumah digedor dan ada teriakan : “Pak RT, rumah saya kemalingan” maka pak RT bangun dan langsung menuju ke rumah warga yang kemalingan, dan pak RT bingung apa yang harus diperbuat, jika maling masih di tempat mungkin barang bisa diambil kembali, namun si maling sudah tidak ada di tempat tersebu, maka pak RT berkata : “baik, akan segera saya urus dan laporkan ke polisi”, belum selesai pembicaraan pak RT dengan warga yang kemalingan, tidak lama kemudian datang warga lain mengadu : “Pak RT rumah saya kebanjiran gara-gara sampah yang menumpuk dibiarkan begitu saja tanpa diurus”, kemudian warga yang kemalingan berkata lagi : “Pak RT siapa satpam yang jaga semalam, padahal saya sudah bayar uang keamanan, bagaimana rumah saya masih bisa kecurian?”, kemudian warga yang kebanjiran berteriak : “Pak RT bagaimana ini, air mampet akhirnya rumah saya kebanjiran”, maka Pak RT segera menuju rumah warga yang kebanjiran dan mulai mengangkut barang-barang, tidak lama kemudian ada warga yang datang berteriak dan mengadu : “Pak RT, rumah saya kebakaran karena banyak kabel-kabel yang sudah lama dan perlu diganti namun tidak pernah diperhatikan, pak RT bisanya hanya ambil uang dari PLN saja, apa gunanya jadi ketua RT!”, padahal ketua RT juga mempunyai keluarga dan kesibukan dan yang lainnya namunyang disalahkan selalu ketua RT, itu baru tingkat RT, bagaimana lagi jika ketua RW, Kades, Lurah atau pemimpin yang di tingkat atasnya lagi. Oleh karena itu sangat sulit dan dengan susah payah untuk berusaha menjadi pemimpin yang adil dan sabar, maka seorang pemimpin yang adil seperti itu di hari kiamat akan dinaungi oleh Allah subhanahu wata’ala, dimana tidak ada tempat berteduh selain tempat berteduh yang diberi oleh Allah subhanahu wata’ala. Jadi jika di zaman sekarang kita sering mendengar wakil rakyat atau pemimpin yang berbuat salah maka hal itu wajar, karena untuk menjadi pemimpin yang baik di tingkat RT saja sangat sulit, maka terlebih lagi pemimpin di tingkat yang lebih tinggi. Maka benar yang telah disabdakan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Jika ada seorang muslim menjadi pemimpin, kemudian ia berbuat baik pada rakyatnya dan juga berbuat kesalahan, maka terimalah kebaikannya dan maafkan kesalahannya”. Jadi tidak perlu diadilikah?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui jika seorang pemimpin dinaikkan kemudian dijatuhkan lagi, maka yang gembira adalah musuh-musuh Islam, karena pemerintah dan rakyat saling hantam, para Ulama’ dan orang-orang yang baik dimasukkan ke penjara dimana hal itu merupakan akibat daripada saling hantam satu sama lain. Maka strategi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat sempurna adalah jika ada pemimpin-pemimpin yang tidak baik namun para Ulama’ mengetahui hal itu maka mereka akan semakin mendidik generasi yang baik yang kelak akan menggantikan kepemimpinan para pemimpin yang tidak baik, itulah strategi indah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan Majelis Rasulullah ini juga merupakan strategi dalam membangun generasi yang baik, generasi yang rukun dan damai, generasi yang suka dzikir dan shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, yaitu banyak beribadah kepada Allah, dimana sejak kecil sudah mempelajari dzikir, dari kecil anak-anak mereka didorong untuk hadir di majelis ta’lim atau majelis dzikir, maka pendidikan seperti ini sejak seseorang masih kecil merupakan hal yang sangat penting, karena sebagian besar kesuksesan itu muncul dari pemuda yang mulai meniti untuk mencapai keluhuran sejak usia muda, sejak masih muda sudah cinta dan suka hadir majelis, namun permasalahannya jika waktu final bola yang hadir majelis berkurang dan beruntungnya saya saat itu tidak hadir majelis, tetapi sampai kabar kepada saya bahwa yang hadir majelis berkurang karena ada final bola. Oleh karena itu kita selalu berusaha untuk mendidik diri kita agar semakin baik dan senantiasa merasa asyik dengan hal-hal yang luhur yang mampu untuk kita lakukan, jangan selalu mencari godaan syaitan untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu kita perbuat, jika seseorang belum mampu untuk shalat tahajjud maka jangan dipaksakan untuk shalat tahajjud, dan jika shalat wajib 5 waktu belum dikerjakan dengan baik maka perbaiki dulu shalat yang 5 waktu tersebut, dan juga jika belum mampu jangan puasa sunnah dulu, namun perlahan-perlahan akan sampai kepada puncak keluhuran.

Ketiga adalah seeorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid yaitu orang yang mencintai masjid, ada orang yang selalu duduk di dalam masjid namun hatinya berada di luar masjid dan ada juga orang yang jasadnya berada di luar masjid akan tetapi hatinya selalu di masjid dan golongan inilah yang dimaksud dalam hadits ini. Dalam hatinya ada keinginan untuk selalu dekat dengan masjid, ingin selalu shalat jamaah di masjid. Ada seseorang sangat cinta terhadap masjid Al Haram dan masjid An Nabawi maka dipajanglah foto masjid itu di rumahnya dan dilihatnya setiap hari hingga air matanya terus mengalir karena ingin memandangnya orang seperti inilah yang hatinya selalu terikat dengan masjid. Ada kelompok orang yang mengatakan jika tidak melakukan shalat di masjid maka shalatnya tidak sah, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang teriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak juga melakukan tidak di masjid. Dan dalam madzhab Syafii shalat di masjid merupakan sunnah muakkadah, akan tetapi shalat di luar masjid pun tetap sah. Dalam hal ini terdapat permasalahan, datang seseorang bertanya kepada saya : “Bib saya sumpek dimana masjid dalam keadaan bersih kemudian datang sekelompok orang dan nginap di masjid, bawa kompor dan lainnya hingga berantakan dan mengotori masjid, setelah itu pergi tanpa membersihkannya terlebih dahulu, maka apa yang harus kami lakukan?, dalam hal ini kita pilih jalan tengah, jangan sampai kita mengusir orang Islam dari tempat ibadah karena mereka juga saudara kita seiman, namun berusaha untuk memberi tau orang-orang yang datang dengan tujuan i’tikaf di masjid untuk membersihkan masjid sebelum mereka pergi, jangankan masjid yang merupakan tempat ibadah, rumah sendiri saja kita ingin melihatnya selalu dalam keadaan bersih terlebih lagi masjid yang merupakan rumah Allah. Ada lagi pertanyaan, mengapa orang-orang Islam tidak mau mengajak saudara-saudaranya untuk shalat memenuhi masjid?, ketahuilah ibadah tidak hanya ke masjid saja, namun tidak mengganggu atau menggunjing orang lain juga termasuk ibadah, bekerja untuk bersedekah juga ibadah, menikah juga ibadah, mendidik anak pun termasuk ibadah, jadi bagi saudara-saudara kita yang sudah bergabung dalam jamaah ini dan selalu mengajak muslim yang lainnya untuk bergabung bersamanya, maka hal itu adalah hal yang bagus dan telah memiliki keberanian, namun jangan mencela orang yang tidak memperbuatnya.

Keempat adalah dua orang yang saling menyayangi karena Allah subhanahu wata’ala dan yang dimaksud bukanlah pacaran, namun saling mencintai dan menyayangi karena Allah adalah saling membantu untuk mencapai keluhuran ibadah, misalnya seorang teman tidak mengaji karena tidak mempunyai Al qur’an maka diberi pinjaman Al qur’an, atau temannya tidak hadir ke majelis karena tidak mempunyai kendaraan maka dipinjamin kendaraan karena mungkin kebetulan jika malam hari kendaraan saudara atau keluarganya tidak di pakai atau bisa juga berupa pernikahan, maka hal-hal yang seperti itu adalah saling menyayangi karena Allah dan berkumpul atau berpisah karena Allah, bukan karena masalah keduniawian. Namun jangan disalah artikan dengan mengatasnamakan pacaran adalah cinta karena Allah dan berpisah karena Allah, justru hal demikian adalah pertemuan dan perpisahan karena syaitan. Diperbolehkan ada hubungan antara lelaki dan wanita yang bukan mahram dengan syarat tidak melanggar syariat, sebagaimana dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam banyak para sahabat yang berbicara dan bertanya kepada ummul mu’minin, dan banyak wanita yang berdagang di pasar namun tetap menjaga norma-norma kesopanan dan tidak melanggar syariat. Jadi boleh saling kirim sms namun jangan sampai melewati batas dan mulai masuk pada hal-hal yang buruk, seperti mengajak untuk bertemu dan lainnya karena hal itu mendekati pada perbuatan zina yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

( الإسراء : 32 )

“Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Isra’ : 32 )

Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dalam kitab Adab Al Mufrad dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa seseorang yang berzina dengan tetangganya maka dosanya jauh lebih besar daripada berzina dengan orang lain , mengapa? karena telah berkhianat kepada temannya sendiri. Yang kelima adalah seorang lelaki yang diajak berzina oleh seorang wanita (atau sebaliknya) yang cantik dan kaya raya, namun lelaki itu menjawab : “Sungguh aku takut kepada Allah”, bukan karena takut di tangkap polisi atau dituntut ke pengadilan. Sebagaimana yang juga terjadi pada seorang wanita cantik dan mempunyai harta ia mendatangi seorang lelaki yang ahli ibadah dan mengatakan bahwa ia ingin berjima’ dengannya, maka lelaki itu menutup matanya, kemudian wanita itu mengatakan bahwa ia telah menggunakan penutup dan meminta lelaki itu untuk membuka matanya, namun ketika lelaki itu membuka matanya ia melihat wanita itu telah membuka seluruh pakaiannya, kemudian lelaki itu memalingkan wajahnya, maka Allah subhanahu wata’ala menjadikan wajah wanita itu gelap hingga ia wafat. Dan terdapat dalam riwayat yang shahih ketika seorang wanita shalihah akan berangkat ke sebuah tempat yang jauh bersama kafilah, maka seorang lelaki mengikutinya karena dia menyukai wanita itu, beberapa lama kemudian semua orang mulai tidur, namun wanita itu masih duduk dan belum tidur, kemudian lelaki itu mendekat kepadanya dan mengajaknya untuk berbuat keji karena semua orang telah tidur, maka wanita itu berkata : “apakah engkau yakin semua orang sudah tidur dan tidak ada yang akan melihat kita?”, maka lelaki itu pun kembali meyakinkan bahwa semua orang telah tidur,dan berkata kepada wanita itu : “betul semua orang telah tidur”, maka wanita itu berkata : “apakah Allah tidur dan tidak melihat kita?”, mendengar ucapan wanita itu maka lelaki itu tertunduk malu dan berkata : “iya betul Allah melihat kita”, wanita itu berkata lagi : “jika Allah melihat kita apakah engkau tidak malu kepada Allah, hingga engkau mengikutiku dari tempat yang jauh untuk berbuat hal itu kepadaku, dan jika engkau meninggal saat ini apa yang akan engkau jawab dihadapan Allah”, maka lelaki itu menutup mukanya karena malu dan kemudian pergi, setahun kemudian terdengar kabar bahwa telah wafat seorang wali Allah dan puluhan ribu orang yang mengantar jenazahnya ke pemakaman, dan setelah ditanya siapakah wali Allah yang telah wafat tersebut, ternyata dia adalah lelaki yang telah bertaubat di tangan wanita itu yang kemudian Allah mengangkat derajatnya hingga ia menjadi wali Allah subhanahu wata’ala. Yang keenam adalah seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi, dan ada satu cara untuk hal ini dimana tangan kanan memberi namun tangan kiri tidak mengetahuinya, yaitu jika tangan kanan mengeluarkan uang untuk sedekah namun seakan-akan bukan untuk sedekah, caranya adalah jika melihat orang miskin yang berdagang setelah ditanya harga barang yang dijual misalnya ia adalah penjual kacang, kemudian ia menjawab : “sebungkus 1000”, namun dibayar 5000 dan tidak minta uang kembalian, maka hal itu adalah termasuk sedekah secara sembunyi, mungkin ketika si pembeli menyerahkan uang 5000 si penjual akan berkata : “maaf pak tidak ada kembaliannya”, lalu si pembeli berkata : “ya sudah ambil saja kembaliannya”, maka penjual pun tidak mengetahui kalau itu adalah sedekah. Atau jika melihat orang yang susah sedang berdagang dan ketika ditanya harga dagangannya, si pedagang menyebutkan harga, padahal jika ditawar harganya dibawah itu, namun pembeli tidak lagi menawar karena berniat untuk sedekah kepada penjual tersebut, hal itu pun merupakan sedekah secara sembunyi-sembunyi, hingga yang diberi sedekah pun tidak mengetahui kalau dia menerima sedekah, hal yang seperti itu pahalanya sangat besar. Dalam riwayat Shahih Muslim terdapat 2 pendapat yang mengatakan bahwa pahala yang sangat besar akan didapatkan bagi orang yang bersedakah dengan cara sembunyi-sembunyi, dan juga orang yang bersedakah secara terang-terangan dengan tujuan agar orang lain mengikutinya karena banyak orang yang kaya raya namun tidak ada yang mau mengeluarkan hartanya untuk sedekah, dan ketika seseorang bersedekah dengan terang-terangan, misalnya : “saya sedekah 1000 dolar”, maka orang kaya yang lainnya pun tidak mau kalah dan akan mengeluarkan uang untuk sedekah, maka dengan cara ini orang kaya yang enggan bersedekah akan terdorong untuk bersedekah. Dan jika ada orang yang ingin bersedekah secara sembunyi namun ketika melihat keadaan dimana orang-orang tidak ada yang mau mengeluarkan sedekah, kemudian ia bersedekah secara terang-terangan maka ia pun termasuk dalam golongan yang akan mendapatkan naungan Allah subhanahu wata’ala kelak di hari kiamat. Demikian indah firman Allah dan hadits nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam jika kita mau menelaahnya. Yang ketujuh adalah seseorang yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu mengalir air matanya, maka kita berdoa dan berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala semoga Allah mengangkat derajat kita, demi kemuliaan malam 10 Muharram ini semoga Allah menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan akhirah, menyelesaikan segala permasalahan kita di dunia dan akhirat, dan mengabulkan segala hajat kita Ya Rahman Ya Rahim…

فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا

Ucapkanlah bersama-sama

يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
 
Sumber : www.majelisrasulullah.org , Sufiroad.blogspot.com
 

Kamis, 24 November 2011

Pahala tetap akan sampai kepada Mayyit

1.Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan

Berkata Imam Nawawi : “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada
ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa – apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash – nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.


Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist - hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat,dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif,dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa sebagian besar ulama mengatakan semua amal apahal sampai.
Inilah liciknya orang – orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, merekamenggunting – gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti kelicikan mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka:

Lalu berkata pula Imam Nawawi

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit
dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para
ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran
hutang (untuk mayyit) dengan nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah
pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah, demikianpendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat paraulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90).

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari
Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalukatakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.


Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai AbuAbdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),

maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku 
dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan 
bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakan pada 
orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an dikuburan agar ia terus membacanya 
lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225) 

Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :

“dijelaskan pada syarah Al Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala
amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan
Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah
disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok
besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya
sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan
Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa
tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal
yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (takada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini denganhadits yang sangat banyak”.(Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil ImamNawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman
amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman
bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah
untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maaqaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa – apa
yang kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang
mengatakannya tak sampai.

Kita ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari, saya
mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari. Bila saya berbicara fatwa Imam Nawawi,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa Imam Syafii,
maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii.

Demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita tidak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh buku – buku, namun acuan utama adalah pada guru yang mempunyai sanad.Kasihan mereka mereka yang keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama mereka sebatas buku – buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah pada buku – buku.

Jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam Nawawi, Imam Nawawi
bertawassul pada Nabi saw, Imam Nawawi mengagungkan Rasul saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada Nabi Muhammad saw, ia memperbolehkan tabarruk dan
ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah waljamaah.

Sabda Rasulullah saw : “Sungguh sebesar - besar kejahatan muslimin pada muslimin
lainnya, adalah yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas mereka karena pertanyaannya” (Shahih Muslim hadits No.2358, dan juga teriwayatkan pada Shahih Bukhari).

Minggu, 06 November 2011

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia

Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. 

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) Keharusan mengikuti mazhab empat,

(3) Karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).

(4) Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.

(5) Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.

(6) Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jama’ah terletak pada prinsip dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya. Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah
KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.

Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimaknai dalam dua pengertian :

Pertama, Ahlussunah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah, yakni mereka yang selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang tashawuf .

(7) Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah al-khulafâ al-râsyidin yang mendapat petunjuk” (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang tergolong al-khulafâ’ al-râsyidûn saja, tetapi juga sahabat-sahabat lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: “Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit) kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat petunjuk”. (HR. al-Baihaqi).

Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah para tabi’in (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh tabi’it-tabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan demikian seterusnya yang kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: “Ulama adalah penerang-penerang dunia, pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi” (HR. Ibn ‘Ady)

(8) . Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jama’ah, sesungguhnya adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam.

(9) Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah segolongan pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih, akhlaq, dan jihad.
(10) Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna Ahlussunnah wal Jama’ah di lingkungan NU lebih menyempit lagi, yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali dalam bidang fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam bidang tashawuf.

(11) Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jama’ah.

(12) Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya, Ahlussunnah wal Jama’ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

(13) Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jam’iyah yang berakidah Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam Muqaddimah Qânûn Asâsiy-nya, pendiri jam’iyyah NU, KH. M. Hasyim Asy’ari menegaskan, “Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dan pengikut imam empat, kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya!” Bagi NU, landasan Islam adalah al-Qur’an, sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrîr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulafâ’ al-rasyidîn, Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan dan ‘Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU, Ahlussunnah wal Jama’ah dimengerti sebagai ‘para pengikut sunnah Nabi dan ijma’ para ulama’. NU menerima ijtihad dalam konteks bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an maupun matn (isi) hadits dengan baik. Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang dianut NU, :

pertama, adanya keseimbangan antara dalil aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Qur’an dan al-Hadits), dengan penekanan dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy.

Kedua, berusaha sekuat tenaga memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam.

Ketiga, tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan îmân, islâm dan ihsân secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.

semoga menambah pengetahuan dan pencerahan warga NU secara umum, aamiin
http://www.numalang.co.cc

Selasa, 23 Agustus 2011

MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA KYAI LANGGAR / GURU NGAJI

Zakat merupakan salah satu ibadah maliyah (ibadah yang berwujud harta) yang mana ketentuan, cara pengumpulan dan pendistribusiannya sudah diatur dalam syari’at dengan aturan yang baku. Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 diterangkan :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ. التوبة: 60
Artinya :
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (QS. At-Taubah 60).
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa pendistribusian zakat/pembagian zakat itu harus disalurkan kepada para mustahiq (orang yang berhak menerimanya) yang jumlahnya ada delapan golongan tersebut. Sedangkan golongan yang lain tidak berhak menerimanya. Demikian pula halnya dengan kyai langgar/guru ngaji. Sementara sudah merupakan hal yang biasa dilakukan di kampung-kampung bahwa sebagian kaum muslimin -yang notabenenya warga nahdliyin- memberikan zaktnya kepada kiyai langgar/guru ngaji, bagaimana hukumnya?
Sayid Abu Bakar bin Muhammad Syatho dalam kitabnya I’anatut Thalibin memberikan keterangan :
وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا [أَيِ الْفَقْرَ وَالْمَسْكَنَةَ] أَيْضًا اشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِالْفِقْهِ، أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ، أَوِ الْحَدِيْثِ. أَوْ مَا كَانَ آلَةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدِّيْهِ، وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفَايَةٍ.
Artinya :
“Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal Qur’an, memperdalam imu fiqih, tafsir, hadits atau ilmu alat (ilmu yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut), maka orang-orang semacam ini dapat diberi  zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfaatnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya fardlu kifayah.
Dari keterangan ini, kita bisa memahami bahwa hukum memberi zakat kepada kiyai/guru ngaji itu boleh, dengan syarat bahwa yang bersangkutan keadaannya tidak mampu. Hal ini disamakan dengan orang yang sibuk menghafal hadits, memperdalam ilmu fiqih atau mengerjakan sesuatu yang hukumnya fardlu kifayah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak.
Jam’iyah Musyawarah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Kediri pada tahun 1405 H./1984 M. pernah membahas persoalan ini dengan deskripsi masalah sebagai berikut :
Soal : Apakah boleh memberikan zakat kepada kiyai dengan atas nama kiyai?
Jawab: Tidak boleh, karena tidak termasuk ashnaf delapan, meskipun nama sabilillah, sebab yang dimaksud sabilillah adalah orang yang berperang dengan sukarela. Keterangan dari kitab Fathul Wahhab juz II hal. 27 :
(وِلِسِبِيْلِ اللهِ) وِهُوَ غَازٍ مُتَطَوِّعًا بِالْجِهَادِ.
Artinya :
“(dan untuk sabilillah) yaitu orang yang berperang dengan sukarela dalam jihadnya.
(Tanbih) Ada suatu qaul (pendapat ulama) yang menyebutkan bahwa kiyai itu termasuk sabilillah, sebagaimana keterangan dalam kitab Jawahirul Bukhari hal. 173 :
أَهْلُ سَبِيْلِ اللهِ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُوْنَ بِالْجِهَادِ وَإِنْ كَانُوْا أَغْنِيَاءَ، إِعَانَةً عَلَى الْجِهَادِ. وَيَدْخُلُ فِيْ ذَلِكَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ الشَّرْعِيِّ وَرُوَّادُ الْحَقِّ وَطُلاَّبُ الْعَدْلِ وَمُقِيْمُوا اْلإِنْصَافِ وَالْوَعْظِ وَاْلإِرْشَادِ وَنَاصِرُوا الدِّيْنِ الْحَنِيْفِ. اهـ تحفة الرحبة 2 ص 33
Artinya :
“Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah : para pelajar/santri yang mempelajari ilmu syar’i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan membela agama yang lurus”.
Jadi, kalau kita mengikuti qaul/pendapat ulama yang tertulis dalam kitab Jawahirul Bukhari tadi (yakni pendapat Imam Qasthalani Asy-Syafi’i), maka boleh dan sah memberikan zakat kepada para kiyai/para guru ngaji -sebagaimana yang biasa dilakukan di kampung-kampung- dengan atas nama sabilillah.

MEMBACA YASIN FADHILAH

Mayoritas umat muslim di Indonesia adalah penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka mempercayai keutamaan/Fadhilah membaca surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an, misalnya yang berupa surat secara utuh-utuh surat al-Baqoroh, surat al-Kahfi, surat Yasin, surat ad-Dukhon, surat al-Waqi’ah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain dan lain-lain. Sedangkan yang berupa ayat al-Qur’an misalnya: Ayat Kursi, ayat-ayat yang ada di akhir surat al-Baqoroh atau yang ada di akhir surat al-Kahfi dan lain-lain.
Surat-surat atau ayat-ayat tersebut mereka baca secara rutin setiap  hari/ setiap malam atau secara berkala. Keterangan tentang keutamaan membaca beberapa surat/ ayat tersebut bisa diperoleh dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para muhadditsin antara lain:
1.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ تُوِّجَ بِتَاجٍ فِى الْجَنَّةِ. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh, maka akan diberi mahkota beruap mahkota di surga.” (HR. Baihaqi)
2.  Hadits riwayat al-Hakim:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ. رواه الحاكم
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Baqoroh pada hari jum’at, maka akan bersinar baginya seberkas cahaya sampai dua jum’at”. (HR. Al-Hakim)
3.  Hadits riwayat Abu Nu’aim:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ  أَصْبَحَ مَغْفُورًا لَهُ. رواه أبو نعيم في الحلية
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Yasin pada waktu malam, maka pada pagi harinya orang itu diampuni dosanya”. (HR. Abu Nu’aim)
4.  Hadits riwayat Ath-Thabrani:
مَنْ قَرَأَ "حم" الدُّخَانَ فِي لَيْلَةِ جُمُعَةٍ أَوْ يَوْمَ جُمُعَةٍ بنى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. رواه الطبراني
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat Hamim ad-Dukhon pada malam jum’at atau hari jum’at, maka Allah akan mendirikan bangunan rumah untuk orang itu di surga”. (HR. Ath-Thabrani).
5.  Hadits riwayat Imam Baihaqi:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْوَاقِعَةِ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ أَبَداً. رواه البيهقي
Artinya:
“Barangsiapa yang membaca surat al-Waqi’ah setiap malam, maka tidak akan tetimpa kemiskinan selamanya”. (HR. Baihaqi)
6.  Dan lain-lain.
Di sebagian daerah yang masyarakatnya mayoritas warga NU. Berlaku suatu amalan membaca surat Yasin namun bukan surat Yasin biasa, akan tetapi Yasin Fadhilah (yakni surat Yasin yang di dalamnya disisipi kalimat-kalimat yang berisi do’a atu bacaan tertentu selain al-Qur’an).
Ada tiga maslaah yang dipertanyakan sehubungan dengan amalan tersebut?
Pertama: Bagaimana hukum mencampur penulisan ayat al-Qur’an dengan kalimat-kalimat lain yang bukan al-Qur’an?
Kedua: Bagaimana pula hukum membacanya?
Ketiga: Apakah surat-surat lain yang bukan surat Yasin juga boleh dijadikan sebagaimana Yasin Fadhilah?
Mengenai masalah ini, ada perbedaan humum antara menulis do’a-do’a tertentu di sela-sela ayat atau surat al-Qur’an dan hukum membacanya. Perbedaan itu sebagai berikut :
Hukum menulisnya adalah makruh, karena hal itu akan menimbulkan dugaan bahwa do’a-do’a atau bacaan-bacaan tersebut termasuk ayat/surat Al-Qur’an. Sebagaimana tersebut dalam kitab “al-itqan” juz III hal. 171 :
وَقَالَ الْحَلِيْمِيْ: تُكْرَهُ كِتَابَةُ اْلأَعْشَارِ وَاْلأَخْمَاسِ وَأَسْمَاءِ السُّوَرِ وَعَدَدِ اْلآيَاتِ فِيْهِ لِقَوْلِهِ: جَرِّدُوا الْقُرْآنَ. وَأَمَّا النُّقَطُ فَيَجُوْزُ لَهُ لأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ صُوْرَةٌ فَيُتَوَهَّمُ لأَجْلِهَا مَا لَيْسَ بِقُرْآنٍ قُرْآناً. وَإِنَّمَا هِيَ دَلاَلاَتٌ عَلَى هَيْئَةِ الْمَقْرُوْءِ فَلاَ يَضُرُّ إِثْبَاتُهَا لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهَا. وَقَالَ الْبَيْهَقِيْ: مِنْ آدَابِ الْقُرْآنِ أَنْ يُفْخَمَ فَيُكْتَبُ مُفَرَّجاً بِأَحْسَنِ خَطٍّ، فَلاَ يُصَغَّرُ وِلاَ يُقَرْمَطُ حُرُوْفُهُ، وَلاَ يُخْلَطُ بِهِ مَا لَيْسَ مِنْهُ كَعَدَدِ اْلآيَاتِ وَالسَّجَدَاتِ وَالْعَشَرَاتِ وَالْوُقُوْفِ وَاخْتِلاَفِ الْقِرَاءَاتِ وَمَعَانِي اْلآيَاتِ.
Artinya :
“Imam Halimi berkata : makruh hukumnya menulis tanda sepersepuluh, seperlima, nama surat dan bilangan ayat di tengah-tengah surat/ayat Al-Qur’an. Karena sabdanya : bersihkanlah tulisan Al-Qur’an (dari hal yang bukan Al-Qur’an). Adapun memberi titik maka hukmnya boleh, karena tidak merubah bentuk yang sekiranya menimbukan dugaaan bahwa yang bukan Al-Qur’an dianggap Al-Qur’an. Hal itu hanyalah petunjuk atas keberadaan huruf yang dibaca. Imam Baihaqi berkata : Di antara tata krama terhadap Al-Qur’an adalah hendaklah bersikap serius kepada Al-Qur’an, hendaklah menulisnya dengan hitam putih, tulisannya harus yang indah, jangan dibuat terlalu kecil hurufnya, jangan terlalu rapat baris-barisnya jangan mencampurnya degnan tulisan-tulisan yang bukan termasuk Al-Qur’an, seperti bilangan ayat, tanda ayat sajdah, tanda sepersepuluh, tanda waqaf, perbedaan bacaan dan makna kandungan ayat”.
Adapun membaca do’a atau kalimat lainnya di tengah-tengah surat yasin atau surat yang lain, hukumnya sunnat apbila do’a atau kalimat-kalimat tersebut relevan (ada keterkaitan) dengan tuntutan makna ayat/surat yang dibaca itu. Tersebut dalam kitab Ihya’ Ulumiddin juz I hal. 279 :
وَفِيْ أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ تَسْبِيْحٍ سَبَّحَ وَكَبَّرَ، وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ دُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ دَعَا وَاسْتَغْفَرَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَرْجُوٍّ سَأَلَ، وَإِنْ مَرَّ بِمَخُوْفٍ اسْتَعَاذَ. يَفْعَلُ ذَلِكَ بِلِسَانِهِ أَوْ بِقَلْبِهِ.
Artinya :
“Di tengah-tengah membaca Al-Qur’an, ketika seseorang melewati suatu ayat yang berisi mensucikan Allah, dia bertasbih dan bertabir, ketika melewati ayat yang berisi permohonan dan minta ampunan, dia berdo’a dan beristighfar, ketika melewati ayat yang berisi harapan dia mengajukan permohonan dan ketika melewati ayat yang berisi hal-hal yang menakutkan, dia memohon perlindungan. Itu semua dia lakukan dengan ucapan lisannya atau digerakkan dalam hatinya”.
Berdo’a di tengah bacaan Al-Qur’an juga pernah dilakukan oleh Nabi SAW. sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Imam Nasa’ai :
عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِى رُكُوعِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ. وَفِى سُجُودِهِ: سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى.
Artinya :
“Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah ra. bahwa dia melakukan shalat malam di samping Rasulullah SAW. beliau membaca surat ketika sampai pada ayat yang menerangkan adzab, beliau berhenti dan meminta perlindungan dan ketika sampai pada ayat yang menerangkan rahmat beliau berhenti dan berdo’a meminta rahmat, ketika ruku’ beliau membaca Subhana Rabbiyal Adzimi, dan ketika sujud beliau membaca Subhana Rabbiyal A’la”. (HR. Nasa’i)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More