Rabu, 22 Juni 2011

Menolak faham bid’ah dengan bid’ah.


1. Murji’ah.

      Munculnya pemikiran bid’ah Khawarij yang mengkafirkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan dua juru damai (Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash), menyebabkan Murji’ah mengeluarkan pemikiran lebih bid’ah lagi. Kata mereka: “Kami tidak memberi penilaian (hukum) pada mereka, urusan mereka kami serahkan kepada Allah.” Dan belum lama pendapat mereka tentang irja’ ini, kemudian mengeluarkan pemikiran bid’ah yang baru lagi yaitu: “Maksiat tidak berbahaya bila disertai iman, sebagaimana taat tak ada faedahnya bila bersamaan dengan kekufuran. 30)

2. Mu’tazilah.
Melihat dua faham bid’ah yang saling bertentangan tersebut, Mu’tazilah bermaksud ingin mencari jalan tengah yang bebas dari bid’ah Khawarij maupun Murji’ah. Namun ternyata dia sendiri malah menciptakan pemikiran yang lebih bid’ah lagi, yaitu: “al-Manzilah baina al-Manzilatain” yakni pelaku dosa besar adalah antara keimanan dan kekufuran (tidak iman juga tidak kafir), sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Washil bin Atho’ manakala permasalahan Khawarij dan Murji’ah tentang pelaku dosa besar diangkat atau dipertanyakan di majlis Imam Hasan Bashri. Maksud Washil ingin men-counter faham bid’ah, tapi dia sendiri malah menciptakan bid’ah. 31)

3. Musyabbihah.
Di Kota Balkha, muncul pemikiran bid’ah yang dipelopori oleh Jahm bin Shofwan. Mereka menafikan sifat-sifat Allah swt yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga bangkitlah Muqatil bin Sulaiman untuk menolaknya dengan menetapkan sifat-sifat Allah (seperti; yad, wajah dan lain sebagainya). Namun dia malah berlebihan sehingga sampai pada batas pentasybihan Allah swt pada makhluknya. Dari sinilah kemudian timbul nama musyabbihah / mu’aththilah yang maksudnya hendak melawan faham bid’ah tapi justru malah menciptakan faham yang lebih bid’ah lagi. 32)
4. Jahmiyyah.
Sebenarnya dia lahir karena adanya bid’ah qadariyah yang menyatakan bahwa Allah swt tidak menciptakan perbuatan hamba-Nya, tetapi hamba itu sendiri yang menciptakannya. Untuk menangkal faham ini, Jahm kemudian bangkit dan membalik total pemikiran bid’ah Qodariyah. Katanya: ”Allah SWT-lah yang menciptakan perbuatan itu, dan hamba hanyalah –karena terpaksa (majbur) – malaksanakannya. Dia tidak punya qudrat dan Ikhtiar. Hanya seperti pelepah kurma yang tertiup angin.
Pemikiran Jahm ini jelas merupakan bid’ah yang setingkat atau melebihi bid’ah qadariyah, karena justru akan membatalkan taklif dan Jaza’.33)


30) . al-Maqolat: I/213. al-Milal: 137.
31) . al-Farq: 82, Tarikhul Madzahib: 122, al-Milal: 42.
32) . Aqi’idus Tsalats was Sab’in: 285, al-Maqolat; I/283.
33) . al-Farq; 158, al-Milal: 177.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More